7. Adik Kelas

60 37 1
                                    

Pagi ini di sekolah, Bu Teti baru datang untuk mengajar pelajaran IPS. Matanya melotot, menunjukkan tampang tidak senang dengan suasana mereka yang tidak bersih.

"Buang sampah sekarang! Bersihkan sampah-sampah di bawah meja kalian sekarang, atau kalian keluar tidak usah belajar dengan saya!" Teriaknya cepat dan keras.

Murid-murid langsung sibuk memungut sampah bekas rautan dan sampah kertas yang mereka mainkan tadi sebelum Bu Teti datang.

Begitu juga dengan Letta, ia mendecak pelan karena sampah yang ada di bawah mejanya adalah sampah orang lain yang mungkin ditendang ke arah mejanya. Letta berdiri dari kursi, siap membuang sampah keluar kelas.

"Let," panggil Rian di belakangnya.

Letta menoleh, malas mengeluarkan suara untuk sekedar bertanya 'apa' atau semacamnya.

"Sekalian dong," kata Rian sambil tersenyum, mengulurkan sebuah kertas yang terlipat rapi.

Letta mendengus kesal, mengambil kasar sampah yang Rian berikan. Letta berjalan menuju keluar kelas, dan tak sengaja ia membaca tulisan yang ada di bagian depan sampah kertas dari Rian tadi. "Aku jangan dibuang. Dibaca aja, gak apa."

Letta mengerutkan kening di depan tong sampah, menoleh lagi ke arah kelas. Lalu Letta memasukkan surat itu ke saku rok abu-abunya, kemudian melangkah masuk lagi ke dalam kelas dan duduk di tempatnya.

"Udah dibuang?" tanya Rian santai, sambil memutar-mutar penanya di tangan.

"Ya," jawab Letta di kursinya, tanpa menoleh sedikitpun.

Letta mencoba berekspresi biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi dan seolah kertas itu telah dibuang olehnya. Jantung Letta tiba-tiba berdetak lebih cepat, ia mengambil pena dan mencatat apa saja yang ia dengar dari omongan Bu Teti. Bahkan saat Bu Teti bercanda pun ia catat kalimatnya.

"Nyatat apa lari cepat? buru-buru banget?" tanya Veya yang duduk di sebelah Letta, memerhatikan setiap huruf yang Letta tulis.

"Lari cepat pakai tangan," jawab Letta dengan cepat, fokus pada bukunya.

"Kurang kerjaan lo? itu Bu Teti lagi marahin Susi kenapa lo catat juga omongannya?"

"Kenang-kenangan!" kata Letta lagi.

"Gak ada gitu yang lebih indah, Let? Puisi kek, apa kek, omelan Bu Teti lo catet?"

"Biarin,"

"Omongan gue gak lo catet? is cemburu dong gue!" Veya menyentuh bahu Letta, lebih dekat melihat apa saja yang Letta tuliskan.

Is cemburu dong gue! Letta menulis kalimat Veya di bukunya lagi.

"Astaga, lo tulis beneran! gila nih anak ya, michin di rumah lo berapa ribu?" tanya Veya yang tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Letta.

"Yan, tetangga depan ribut banget ya, cewek sih ya, kerjanya ngoceh!" kata Akbar dari belakang, menyindir Veya dan Letta.

"Lo nyindir gue?" tanya Veya yang menoleh.

"Sedikit aja mba, gak pakek emosi kok." Akbar tersenyum lebar.

"Garing, sumpah!" cetus Veya.

"Jangan deg-degan gitu, Vey. Kayak gak pernah dapet surat aja," kata Rian santai, menyindir orang di depannya yang sedang menulis.

"Surat? apaan sih, gue gak megang surat, gila!" kata Veya yang tidak mengerti dengan jawaban asal dari Rian.

Letta berhenti dengan aksinya. Ia menarik napas, sadar bahwa dirinya kini tengah disindir. Letta tidak menoleh, karena kalau ia menoleh, Rian akan semakin yakin bahwa Letta merasa tersindir.

LETTER (Suratku Bagimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang