*Tentang canggung tanpa sapa.
*Tentang berani yang berkata.
*Tentang topik satu selera.
*Keakraban tak terduga.
*Persahabatan yang tertanda.
*Dan rasa yang mendrama.***
Kita ceritakan tentang Letta yang sedang ribet dengan dasi SMA-nya itu. Lihat dia, bedaknya saja masih belepotan.
"Cepet nian, Let? biasanya juga teladan!" ujar Tante Nidya yang telah duduk di kursi makan.
"Teladan?" tanya Letta pada tantenya, ia juga mulai mengambil kue di atas meja.
"Telat datang pulang duluan," jawab Tante Nidya santai.
Letta hanya tertawa, untuk kemudian menarik kursi makan di dekat tantenya itu.
"ASTAGHFIRULLAH," gemas Tante Nidya karena melihat Letta yang duduk di lantai. Padahal, ia baru saja menarik kursi untuk di duduki.
"Lantainya kasian, Letta pijak terus. Jadi Letta dudukin, ya kan Lan?" Letta menunduk, seperti meminta pendapat sang Lantai yang mungkin kalau hidup, bakalan bilang kalau Letta adalah spesies berat yang kurang kerjaan.
"Terserah," jawab Tante Nidya.
Letta hanya menyengir, untuk kemudian mengambil ponsel di saku rok. "Veya banguunnn!!!" Ia tiba-tiba berteriak pada ponsel itu.
"Oh iya, kan belum nelfon?" Letta seakan baru sadar bahwa ia belum menghubungi Veya, lalu ia memilah dan mencari nomor sahabatnya itu.
Veya yang terfavorit bagi Letta, pendengar terbaik Letta, dia adalah sahabat Letta.
Sedangkan di sisi lain, Veya sekarang lagi sisiran sambil nyanyi. Veya melirik pada bingkai foto yang menampakkan dirinya, Letta, dan teman teman saat SMP. Waktu itu mereka sedang tertawa bersama, tanpa sadar difotoin sama Bang Arga, abangnya Letta.
Lalu pikiran Veya melayang pada Letta yang entah sedang apa. "Udah kenaikan kelas, Let. Kita kelas 2, Let. Lo masih mau pura-pura jadi anak pendiam di sekolah?"
Tak lama setelahnya, handphone Veya berdering.
***
Letta dan Veya berangkat sekolah masing masing. Letta naik motor, diantar oleh pamannya, Pakwo Gugus alias suami Tante Nidya. Ayah Letta sedang lembur, hari ini tak bisa mengantar sekolah. Ayah Letta adalah lelaki yang sukses dalam perusahaannya.
Sedangkan Veya sendiri diantar oleh ayahnya. Ayah Veya adalah seorang koki di sebuah restaurant dekat rumahnya. Restaurant itu milik keluarga Veya, yang memiliki nama "Ayran Resto". Ayran itu adalah singkatan dari: Ayo sarapan, ayo makan.
Sekolah dihiasi dengan wajah-wajah baru adik kelas. Saat itu adalah hari pertama upacara bendera lagi, dan berkumpul dengan sahabat di sekolah lagi. Sahabat yang dimaksud dalam kepala Letta adalah Veya, dan hanyalah Veya.
Mereka baris sesuai kelas. Letta melihat sebentar laki-laki di sampingnya. Ia membiarkan bagian bawah bajunya keluar dari celana, seperti habis buru-buru karena terlambat bangun. Wajahnya terlihat masih ngantuk, atau soal dasinya yang tidak terpasang sempurna.
"Woi, rambut pendek!" teriak seseorang dari depan, entahlah pada siapa.
"Lo manggil gue rambut pendek? demi apa?" tanya pria di sebelah Letta sambil mengerutkan kening, seperti bilang bahwa rambut pendek itu hal wajar, apalagi untuk kaum adam.
"Lah gue bener kan?" kata seorang pria juga yang memanggil tadi dengan wajah mengejek, berbeda dengan yang di sebelah Letta.
"Wah, ngeselin. Minta dikasih uang lo ya?" teriak pria di sebelah Letta.
"Muka lo berantakan kayak muka gue," jawab pria di depan sana, sambil berpindah barisan, menjadi lebih dekat dengan Letta dan pria di sebelahnya.
"Eh lo ternak goblok, Bar?" pria di sebelah Letta memanggil nama lawan bicaranya.
Dari tadi, kepala sekolah berbicara tentang kasih sayang dan selamat memasuki kelas baru dengan teman teman baru. Lama sekali ia menyampaikan kalimat indah untuk menyambut siswa, hingga ada yang pingsan. Langit juga sudah mendung dan gerimis.
"Kenalin, di sebelah gue ini Akbar," ujar lelaki di sebelah Letta, saat suasana upacara mulai riuh dan penuh keluhan. "Kalau gue ketua kelas."
"Lah, modus!" ujar Akbar sambil menepuk jidat pria yang bicara itu.
Letta mengalihkan pandangannya ke kepala sekolah dan tidak menggubris kalimat lelaki sebelahnya, meskipun ia dengar. Lelaki itu bohong, karena kelas baru dimulai dan belum ada pemilihan jabatan.
"Lo di sebelah gue, ngeliatin mulu dari tadi. Gue kan malu, belum makan." Sambung pria itu.
"Let, diajak ngomong tuh," bisik Veya.
Letta menggeleng.
"Lo kawan siapa, Rian!" teriak Akbar, untuk kemudian mereka berdebat dan berceloteh tidak jelas.
"Lumayan, Let. Mulai hidup baru, kelas baru, dan teman baru," bisik Veya yang ada di belakang Letta.
"Untuk apa?"
"Masa depan," jawab Veya.
"Meski kerjaan gue sekarang cuma tidur, tetap bakal sukses, kan? Nilai gue tinggi, kok."
Veya diam sejenak. "Udahlah Let, gak boleh berlarut larut gini."
"Kayaknya lo manis?" Akbar bicara pada Letta, namun matanya melirik Rian. "Kayak gula," lanjut Akbar.
"Gula yang didampingi kopi pahit. Diseduh pula dengan air panas!" Letta menampilkan senyum miring.
Candaan Letta itu lucu, karena dua laki laki itu tertawa.
"Let," Veya menepuk bahu Letta.
"Terus yang terkenal kopinya. Bukan gulanya, hehehe...." lanjut Letta.
Akhirnya, Pak Kepsek menutup apel pagi dengan sorakan dari banyak siswa. Letta ikut menyoraki dengan tampang sangat kesal. Letta membencinya.
Seluruh siswa dipersilakan mencari namanya pada masing-masing kelas, sesuai tingkatan kelas mereka. Maksudnya tingkatan itu; kelas 10, 11, atau 12 di SMA.
Letta dan Veya dikabarkan sekelas, itulah kabar baiknya.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
LETTER (Suratku Bagimu)
Roman pour Adolescents#137 - hati "Lihat gue, Rian!" Bentak Letta. "Jangan, kalau gue jatuh cinta, gimana? Bisa lo balas?" kata Rian santai. "Astaga!!! VEYA, AKBAR, SI RIAN UDAH STRESS!" Letta berteriak, memanggil kedua sahabatnya lagi yang mungkin sedang makan di kantin...