Threatened

1.1K 21 4
                                    

Sayup-sayup suara kicau burung terdengar dari ruangan kecil .Cahaya matahari yang terang dengan mudah masuk melewati jendela yang dibiarkan terbuka lebar, menyinari Elizabeth yang terlelap dan membangunkannya. Elizabeth memicingkan matanya yang masih belum terbiasa dengan cahaya matahari yang terang. Dia merengkuh selimutnya, mencoba untuk tidur kembali.

“Elizabeth, saatnya sarapan,” seru seorang wanita dari luar ruangan itu.

Elizabeth yang sudah menutup matanya dan masih berusaha untuk tidur terpaksa harus membuka matanya kembali. “Sialan,” kata Elizabeth pelan. Elizabeth bangkit sambil melemparkan bantalnya. Dia ingin tidur kembali!

“Elizabeth!”

“Ya, Mom!” jawab Elizabeth. Suaranya tidak kalah keras dengan suara wanita yang dipanggil Mom itu. Mom?  Elizabeth memperhatikan sekelilingnya. Kamar bercat biru laut, boneka teddy bear tergeletak di dekat jendela, dan setumpuk buku dan laptop tertata rapi di meja belajar. Kamarku? Dia melihat pantulan dirinya yang mengenakan gaun malam favoritnya.

“Beth! Ayo cepat turun!” wanita itu berkata lagi, sepertinya dia sudah jengkel karena Elizabeth tidak segera turun.

“Mom? Mom!” seru Elizabeth, memastikan pemilik suara itu.

“Beth? Beth!” jawab wanita itu. Elizabeth terdiam, mencoba ‘mencerna’ apa yang sedang terjadi.

“Mom!” seru Elizabeth kegirangan. Dia segera beranjak lalu berlari keluar dari kamarnya. Sepertinya sudah lama sekali dia tidak mendengar suara itu. Dia sudah begitu rindu dengan pemilik suara itu, dia ingin sekali memeluknya erat. Tidak peduli jika dia mematahkan tulang punggungnya. “Mom!” lanjut Elizabeth sambil menenteskan air mata.

Elizabeth membuka pintu kamarnya tapi tiba-tiba saja dia berhenti. Dia tidak membayangkan sesuatu yang berada di balik pintu kamarnya. Dia tidak mengharapkan adanya perubahan di rumah ini. Di hadapannya ada jurang tak berdasar.

“Mom? Kau dimana?” tanya Elizabeth. Suaranya bergetar.

“Dimana apanya? Jangan bilang kau tersesat di rumahmu sendiri Beth!” bukan ibunya yang menjawab, tapi seorang laki-laki yang kemudian Elizabeth kenali sebagai Zach, kakaknya.

“Zach!” tangisan Elizabeth semakin menjadi. Dia terduduk lemas sambil menyandarkan kepalanya. Dia memandangi jurang yang ada di dihadapannya.

“Beth!” suara-suara itu terus memanggil Elizabeth, namun dia tidak menanggapinya. Rasa dingin tiba-tiba saja menjalari seluruh tubuhnya. Dia meraba-raba keningnya, sumber dari rasa dingin itu.

“Dia sakit, badannya panas,” Elizabeth dapat mendengar suara yang sangat lirih dengan sangat jelas. Seakan-akan suara itu berasal tidak jauh dari tempatnya berada. “Kau mau kemana?”

“Bangsawan Fredel datang, aku diminta untuk ikut rombongan untuk mengawalnya,” suara yang lain juga terdengar. Elizabeth membuka matanya perlahan. Samar-samar dia melihat Lady Vlorensk sedang duduk di sampingnya, berbicara dengan Pier yang mengenakan baju besinya. “Aku pergi dulu,”

“Berhati-hatilah,” kata Lady Vlorensk. Pier sempat menatap Elizabeth sebentar sebelum dia pergi.

Elizabeth menggerak-gerakkan jarinya seakan-akan ingin meraih Pier namun Lady Vlorensk menahannya lembut. “Istirahatlah dulu,”

“Dia pergi?” tanya Elizabeth.

Lady Vlorensk mengangguk lalu membelai rambut Elizabeth.

“Dan dia tidak mengajakku?”

“Elizabeth, dia pergi bertugas, dan kau masih sakit,”

“Setidaknya dia menungguku bangun,” beberapa menit tanpa Pier membuat Elizabeth sedikit kecewa. Setelah kejadian kemarin Elizabeth merasa ingin terus bersamanya, dia tidak bisa meninggalkan pria itu. Dia telah menemukan kehidupan di dunia ini, dan membuatnya sedikit bimbang.

The Book [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang