Jika bukan aku, siapa lagi yang akan perduli dengan diriku sendiri?
Rein berjalan menyusuri trotoan yang akan membawanya menuju halte sekolah. Sebenarnya dia bisa saja menelpon supir atau menerima ajakan Cupen dan Chrisna yang tadi sempat menawarkan untuk pulang bersama. Tapi Rein lebih memilih pulang menaiki angkutan umum.
Dia hanya ingin sendiri dengan berlama-lama berada di luar rumah, walaupun tidak tau ingin kemana tapi dengan naik angkutan umum akan membuatnya lebih lama diperjalanan dan otomatis lebih lama untuk sampai menuju rumahnya yang biasa ditempuh dengan waktu 15 menit.
Dia mengeratkan jaket berwarna merah marun milik cupen pada tubuhnya, namun tetap saja hawa dingin masih dirasakannya. Bukan karna hembusan angin atau karna seragam sekolahnya yang masih basah, entah lah mungkin syaraf-syarafnya sudah tidak berfungsi.
Rasa sakit dihatinya, itu yang lebih dia rasakan.
Sakit sekali.
Ketika sampai di gerbang tadi banyak siswa Smakhars yang berdiam diri didepan sekolah, entah lah mungkin mereka sedang menunggu jemputan.
Pandangan mereka sontak tertuju pada Rein yang berjalan menunduk. Banyak dari mereka yang terang-terangan menyindir Rein.
"Murahan dih."
"Pantes kelakuannya gitu, bonyoknya ga ngurusin sih."
"Gausah masang tampang so sedih lo, bikin jijik."
Tapi Rein hanya diam, untuk saat ini biarkan mereka mencaci sesuka hati. Jika diam adalah jalan terbaik, kenapa tidak?
Letak halte yang berada di pertigaan sudah mulai terlihat. Tepat di sebrang halte terdapat warung yang biasa dipenuhi oleh anak-anak sekolah. Rein bisa melihat siswa Smakhars dan beberapa siswa dari sekolah lain yang sedang nongkrong bersama di depan warung itu.
Suara tawa mereka terdengar di kuping Rein yang saat itu sudah sampai dihalte. Rein bersyukur karna keadaan halte yang sepi, hanya ada beberapa orang dewasa disana.
Baru 5 menit dia disana, sudah 2 kali angkutan umun tujuannya lewat, tapi dia hanya diam. Rein duduk sambil menatap jalan dengan pandangan kosong. Kejadian tadi terus terulang dalam ingatannya.
Selain menyandang julukan kota hujan bogor juga dijuluki kota sejuta angkot, jadi tidak perlu menunggu waktu lama untuk mendapatkan angkutan umum disini.
"Tan, tante." Ucap seseorang sambil menepuk pundak Rein.
Rein menatap ke arah asal suara itu. Dahinya bergelombang ketika menemukan lelaki berseragam batik Smk Atisa berdiri di sampingnya.
Rein menunjuk dirinya sendiri sambil memasang tampang keheranan.
"Gu– eh aku boleh duduk disitu ga tante?" Tanya orang itu sambil menggaruk tengkuknya. Dia sesekali membenarkan letak ear phone berwarna hitam yang menghiasi kupingnya.
"Disana masih kosong." Ucap Rein menunjuk kursi besi disebelahnya.
Dia cukup terkejut karna orang ini memanggilnya tante. Setua itu kah tampang Rein? Tapi kan sudah terlihat jelas jika Rein memakai rok abu yang biasa digunakan anak SMA. Lagipula sepertinya orang ini seumuran dengan Rein.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fucking LOVE
FanfictionBercerita tentang dia yang selalu mencintai, tapi pada akhirnya tidak pernah berhasil untuk memiliki. Hanya karna luka dimasalalu yang selalu menjadi krikil dalam setiap kisah cintanya. Dia sudah tidak percaya akan adanya cinta, hanya karna pernah...