04

31 3 0
                                    

Tidak semua bunga memberikan madu. Ada juga yang memberi racun.

***

Suara detik jam terus menggema di seluruh ruangan. Seharusnya, pagi-pagi seperti ini ia harus fit dan mempunyai semangat pagi. Tapi pertahanannya luruh akan empuknya kasur dan cuaca yang lumayan dingin.

Mau tak mau akhirnya ia bangkit. Menyibakkan selimutnya, dan bersiap-siap untuk melakukan rutinitasnya. Tapi, ada satu hal yang dari tadi malam ia pikirkan hingga susah untuk terlelap.

Bagaimana di sekolah nanti? Apa yang akan di katakan Chandra? Apa yang harus ia katakan? Minta maaf? Tentu saja harus! Meski ia tak tahu pasti apa penyebabnya.

Setelah selesai, ia beranjak ke meja makan. Kosong. Tak ada apa pun, ia lupa memasak hari ini. Namun ada secarik kertas yang ada di meja.

Ini uang saku hari ini. Belilah sesuatu untuk dimasak.

Itu dari ayahnya, tentu saja. Sepagi ini? Tentu saja ayahnya bekerja. Setelah mendiang ibunya meninggal, ayahnya lebih banyak di luar dari pada di rumah. Luna tak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya memang kewajibannya untuk mengurus rumah.

Setelah mengunci rumahnya, ia bergegas untuk berangkat. Biasanya, ia menunggu angkot di persimpangan jalan. Saat melirik jam, ia yakin tidak akan telat. Namun belum juga ia selesai mengalihkan pandangan dari jam tangannya, suara bel motor memekakkan telinga.

"Luna!"

Itu suara seorang gadis, Rena. Jadi, Rena membawa motor?

"Kok bengong? Mau bareng nggak? Ayo!"

Luna tersadar dari lamunannya. Awalnya ia ragu, apa lagi mereka jarang berbicara. Terkadang saat di kelas atau kelompok, mereka baru mau berbicara. Tapi tentu saja Rena yang lebih dominan.

"Udah nggak usah sungkan, cepetan naik!"

Mau tak mau, Luna ikut naik. Jadi, seperti ini rasanya punya teman.

Tak banyak yang mereka bicarakan saat perjalanan menuju sekolah. Hanya topik-topik seputar apa saja yang belum mereka ketahui. Seperti alamat rumah. Masing-masing dari mereka pun sepertinya punya pertanyaan tersendiri yang sulit untuk di ungkapkan. Mungkin karena mereka sedang di jalan, jadi lebih baik memilih topik yang ringan saja.

Setelah mereka sampai di parkiran sekolah kemudian menuju kelas, di situlah Luna dan Rena berpapasan dengan gerombolan Chandra. Luna sempat melirik, sedikit. Saat mata mereka saling bertaut, Chandra langsung memalingkan wajah ke arah Genta yang memberikan lelucon tentang kejadian si Wildan dan celananya yang sobek.

Phew, canggung.

Melihat gelagat Luna yang aneh, Rena menengok ke arah gerombolan Chandra yang sedari tadi di perhatikan Luna.

"Kenapa sama mereka?"

Luna mengangkat wajah, tersadar dari lamunannya betapa canggungnya ia sekarang dan Chandra.

"Nggak kok, nggak ada apa-apa"

Rena yang mendapat jawaban kurang puas dari mulut Luna hanya bisa mengedikkan bahu.

***

"Jadi, alasan kenapa gue nggak mau ngomong sama lo itu karena gue kira lo tipe orang penyendiri, walau ternyata kenyataannya iya. Terus gue sering lihat lo di bully sama temen-temen, otomatis gue nggak mau ada masalah yang menyangkut gue hanya karena gue temen sebangku lo, sorry ya. Gue seharusnya bela lo yang kena bully daripada egois"

Luna mencerna setiap kata yang terucap dari bibir Rena. Ya, dia memang sering di bully. Tidak menutup kemungkinan jika seseorang tak mau berteman dengannya karena takut terkena masalah juga, semacam Rena.

"Nggak apa-apa, itu manusiawi kok. Kamu juga harus lindungi diri sendiri, apa lagi aku bukan siapa-siapa kamu kan," Luna tersenyum kemudian meneguk es teh yang ia beli di kantin bersama Rena.

Rena menjadi tak enak hati. Ya, mungkin persepsi nya akan Luna selama ini adalah salah. Buktinya, Luna adalah orang yang baik. Dan ya, Luna cantik. Rena tak bisa menyangkal hal itu.

"Oiya, kenapa lo betah sih di bully terus? Lo harusnya bangkit dong!" Rena menepuk pundak Luna cukup keras, hingga Luna meringis sakit. Tapi setelahnya ia terkekeh pelan.

"Kadang mengalah itu pilihan terbaik, meski sakit"

Rena yang mendengar pernyataan Luna semakin geram. "Hidup itu terus berputar! Nggak selamanya lo di bawah, nggak selamanya lo di injak-injak! Lo harus bangkit! Lun, Bulan juga bisa hadir di siang hari, meski redup, tapi matahari tak pernah bisa bersama malam!"

Tidak, Rena tidak akan pernah mengerti, mungkin bukan saatnya. Ia terbiasa untuk mengalah dan pasrah. Ia pernah mencoba untuk melawan, tapi hasilnya sama saja. Bahkan mungkin tak menuai hasil sama sekali.

Akhirnya, bel pulang berbunyi. Luna sudah mantap sejak tadi untuk menemui Chandra. Bagaimanapun, Chandra adalah orang pertama atau bahkan teman pertama nya sebelum Rena. Jika mereka terus seperti ini, tidak bisa di biarkan. Entah mengapa, ada sesuatu yang hilang dari diri Luna jika Chandra pergi.

"Jadi gimana? Lo jadi nemuin si Chandra itu?"

Perkataan Rena menyadarkan pikiran Luna yang entah sudah melayang kemana. Luna masih bimbang. Ia tentu saja harus minta maaf, tapi ia terlanjur takut.

Bahkan hanya karena Chandra, ia melupakan kebiasaannya. Ia lupa meminum obatnya, dan pikirannya hanya tertuju pada Chandra. Apakah candunya sudah berganti? Tidak, ini hanya karena ada masalah di antara mereka berdua, dan Luna harus segera menyelesaikannya.

Dengan anggukan mantap, ia menjawab pertanyaan Rena barusan. Saat hendak melangkah ke arah kelas Chandra, siapa sangka bahwa seorang lelaki dengan penampilan yang tidak rapi sama sekali, dengan semerbak aroma rokok di sekeliling, wajah datar dan rambut acak-acakan alias si Chandra berada tepat di depannya.

Sial, aku harus ngapain?!

Jantung Luna sudah bergetar hebat sejak tadi. Apa yang harus ia katakan? Seketika pikirannya kosong, namun pandangannya tetap pada sang pemilik mata tajam.

"Lo nggak pulang bareng gue?"

Eh?

Tidak, ini sungguh aneh. Chandra yang dari kemarin tak membalas pesan yang ia kirim, Chandra yang mengacuhkannya tadi pagi, dan sekarang dengan mudah mengajak pulang bersama?! Gila!

"E-eh! Ng-nggak! Aku mau minta maaf!!"

Tak ada jawaban, hening. Rena yang sedari tadi di belakang Luna memperhatikan interaksi antara kedua manusia di hadapannya. Beni yang mengetahui bahwa Chandra akan menemui Luna hari ini juga telah pergi sejak tadi. Ini sangat canggung!

"A-aku beneran minta maaf kalau kemarin nyinggung kamu atau gimana, tapi aku nggak ada maksud sama sekali kok! Maaf kalau kesannya aku lancang aku janji aku-"

Penjelasan panjang kali lebar Luna terhenti saat kini Chandra hanya beberapa jengkal dari hadapannya. Dia bisa serangan jantung jika seperti ini terus!

"Lun, lo nggak sadar ya?"

"E-eh? Nggak sadar apa? Aku sadar kok aku sal-"

"Lun,"

Sial! Kini Chandra hampir mengikis jarak di antara mereka berdua. Luna menahan nafas hingga sesak rasanya.

"Ada cabe di gigi lo"

***

Terima kasih sudah membaca ❤

CRAVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang