Manusia itu lucu, sukanya menghujat, mencaci, seolah-olah ia adalah manusia paling suci. Hanya saja, ia memandang ia suci di cermin yang kotor.
***
"Abang, nanti kalau Gita udah gede, mau jadi dokter!"
Chandra yang mendengar ocehan adiknya hanya bisa tersenyum. Kemudian ia mengelus lembut puncak kepala adiknya.
"Makanya, Gita tuh kalau sekolah yang pinter, nanti biar bisa ngobatin Abang kalau lagi sakit"
Gita yang mendengar itu hanya bisa cengengesan dengan bekas es krim di mulut. Namun, tak lama kemudian ia kembali cemberut. Es krim di tangannya sudah meleleh dan Chandra sudah jauh di depan. Chandra yang menyadari adiknya tak ada di sampingnya lagi menoleh ke belakang.
"Ada apa? Leleh tuh es krimnya"
Gita masih diam seribu bahasa. Kemudian ia mendongak, melihat abangnya dengan air mata yang sudah menetes kemana-mana. Membuat wajahnya jelek.
"Lho, kok nangis sih dek? Yaudah Abang beliin lagi deh es krimnya, makanya jangan di biarin gitu, jadi leleh kan? Udah-udah jangan nangis, ayo beli lagi"
Chandra mengelap tangan dan mulut Gita dengan bajunya. Abangnya ini sangat menyayanginya, Gita tau itu.
"Abang"
"Hmm"Gita diam sejenak, ia ingin mengutarakan apa yang ia rasa selama ini, tapi ia terlalu takut jika abangnya harus memikirkan itu lagi.
"Kalau Gita udah jadi dokter, Papa sama Mama nggak akan bertengkar lagi kan? Iya kan?"
Chandra menghentikan aktivitasnya. Ia mendongak untuk melihat wajah adiknya yang paling ia sayang. Adik satu-satunya. Harta yang ia punya. Seorang bocah berumur 5 tahun berkata demikian? Anak-anak memang begitu, sangat polos. Ia tak akan paham dengan permasalahan orang dewasa. Dan dengan teganya kedua 'orang itu' mengeluarkan ego masing-masing tanpa menengok ke arah mereka yang masih butuh kasih sayang.
Suaranya tercekat. Ia tak akan tega. Sungguh, ia tak pernah tega. Ia harus terus berbohong dan berbohong kepada adiknya.
'semua baik-baik saja', hanya itu yang bisa ia ucap agar adiknya yang masih belia tak pernah memikirkan masalah orang dewasa.
"Mungkin, makanya Gita harus bisa buktiin ke mama sama papa kalau Gita itu bisa jadi dokter. Oke?"
Tangannya bergetar. Ia harus kuat agar adiknya juga tidak kepikiran. Cukup ia saja yang menanggung derita. Cukup ia saja, jangan adiknya.
"Okey janji!"
***
"Kamu itu tugasnya ngurus anak! Uang tuh urusanku!"
"Dengan aku yang nyari uang, kebutuhan lebih tercukupi! Memangnya gaji kamu yang segitu bisa cukup?! Anak kita sudah sekolah semua! Seharusnya kamu peka dong jadi suami! Cari kerjaan yang lebih bermutu, atau tes CPNS sana! Malah dapet pensiunan, lebih terjamin!"Suara itu lagi, Chandra hanya bisa memeluk adiknya yang meringkuk di pojok kamar, mendekapnya.
Gita yang sedari tadi berada dalam dekapan Chandra hanya diam membisu. Pandangannya kosong. Telinganya ia tutup rapat-rapat dengan dua tangannya. Ia tak bisa menangis lagi, ia sudah terbiasa dengan semua ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
CRAVE
Fiksi RemajaDunia ini kejam, mungkin sebagian orang lebih kepada tak peduli, sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka tak pernah mau tahu tentang sisi gelap dunia. Tidak, kau tak perlu terjurumus kedalamnya. Hanya saja, kau perlu tahu bahwa kau harus peduli. B...