Malam hampir sampai pada ujung waktunya, udara dingin berhembus siap menyerang siapa saja yang ada di luar ruangan hingga tubuh mereka menggigil dan gigi bergemeretuk. Dibalik indahnya salju yang akan turun nanti, atau betapa orang-orang di negara tropis mengidamkan musim dingin datang di negeri mereka. Manusia-manusia di sini berulang kali mengutuk hal yang sama; sifat jahat musim dingin.
Seorang pemuda diam di tempat yang sama hampir dua jam lamanya, mengabaikan napasnya yang mulai tersengal dan jemarinya yang menggigil dibalik saku parkanya yang cukup hangat. Menunggu seseorang yang tak kunjung tiba, sesekali menatap ke arah rumah di bagian paling atas, mendapati lampu-lampu di sana tidak menyala.
Guanlin yakin Seonho belum pulang, tapi kemana perginya pemuda manis itu di jam-jam seperti ini. Jam dua pagi.
Apa dia benar-benar menghindari Guanlin?. Bisa jadi. Guanlin teringat Seonho di koridor tadi sore, dia berkata pada Guanlin untuk tidak datang padanya. Jika itu memang serius diucapkan, Guanlin mengerti kenapa sampai detik ini Seonho tidak terlihat juga.
Tapi apa ini masuk akal, hanya karena menghindari Guanlin, Seonho tidak pulang ke rumah. Lalu di mana Seonho sekarang? Apa dia punya tempat lain untuk berlindung dari kejamnya udara dingin? Apa dia sudah terlelap dan tenggelam dalam mimpi?.
Terlalu banyak pertanyaan dan Guanlin mengerang kesal menghadapi sekelumit benang kusut dalam kepalanya. Dia tidak pernah menyangka hubungannya dengan Seonho akan jadi serumit ini. Bukan hubungan seperti ini yang ada dalam bayangannya. Sekalipun mereka menghadapi masalah, dalam bayangan Guanlin itu bukan karena kesalahan mereka berdua, tapi ketidaksetujuan keluarga.
Nyatanya hubungan yang sudah dibina empat bulan penuh gula-gula itu sirna seketika hanya dalam hitungan hari dan melebur nyaris tak bersisa.
"Hei nak! Sedang apa di situ?!"
Guanlin tersentak dan secara spontan melindungi wajahnya dari lampu senter yang diarahkan seorang pria paruh baya padanya; mekanisme pertahanan diri yang lahir secara alami untuk melindungi matanya yang sedikit sensitif terkena cahaya berlebih, Guanlin mengalami cacat mata di usia lima tahun, dan normal kembali setelah melakukan lasik beberapa tahun yang lalu.
"Kau pelajar? Untuk apa malam-malam masih berkeliaran?" dia seorang polisi. Guanlin mengetahuinya dari seragam patroli yang dikenakan pria paruh baya itu.
"Menunggu temanku pulang, kami tinggal bersama di sana," Guanlin menunjuk rumah sewa milik Seonho. "Mungkin anda melihat pelajar seusiaku di jalan saat patroli?"
Polisi itu berpikir sejenak, mencoba mengingat siapa saja yang ditemuinya saat patroli tadi. "Ah, ada—" ujarnya menggantung, Guanlin tidak bisa menyembunyikan binar harapan di matanya. "Tiga orang, dan aku sudah menyuruh mereka untuk segera pulang," sebelum kalimat yang keluar dari mulut Polisi ini menenggelamkan harapannya.
"Baiklah, terima kasih," Guanlin membungkuk memberi hormat. "Barangkali anda akan melanjutkan patroli? Maaf mengganggu waktu anda."
Polisi itu mengangguk, menyalakan kembali lampu senternya dan merapatkan jaketnya kemudian pamit untuk melanjutkan patrolinya. Meninggalkan Guanlin sendirian, dan pemuda itu kembali melihat angka pada arlojinya.
02.38
Seonho belum datang.
.
.
.
MAZE
.
.
Chapter 11 : Apakah Ini Akhir Atau Awal Bagi Kita?
.
.
Sorry For Typos
.
.
.Sekolah jauh lebih menjemukan menjelang ujian akhir, itu adalah waktu di mana anak-anak peringkat atas akan semakin gila dengan buku dan berbagai teori yang mereka dapatkan dari hasil belajar di sekolah, di tempat les, dan di rumah. Sedangkan mereka yang kurang cerdas akan mulai sadar diri dan memenuhi perpustakaan untuk mengejar ketertinggalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAZE - GuanHo Ver.
FanfictionMasa remaja memang masa yang penting, dimana setiap orang akan memilih dan memutuskan "Jadi apa aku di masa depan?" Guanlin baru 18, tapi sudah berani mengambil keputusan yang besar. Dia tidak akan menyesal, bahkan berjanji pada dirinya sendiri. Ju...