8) Friends, Feelings

3.4K 847 112
                                    

Hari ini hujan.

Joe tidak mengerti kenapa—entah memang ini faktanya atau hanya perasaannya saja—hujan terus turun, seakan mendukungnya untuk terus memeluk guling di kamarnya dan menangis.

Dan Joe rasa dia butuh gulingnya sekarang.

Banyak hal yang berubah belakangan ini. Hampir satu bulan rasanya.

Jujur saja, dia merindukan sosok Eira yang selalu tertawa bersamanya di kantin. Dia butuh tawa sahabatnya itu. Dia butuh mereka tertawa bersama lagi.

Tapi sosok itu tidak bersamanya sekarang. Joe bahkan ragu apakah mereka masih bisa tertawa bersama atau tidak.

Joe tidak membenci Eira. Dia tidak bisa sejahat itu terhadap sahabat yang bahkan tahu tanggal haidnya lebih sementara Joe bahkan lupa soal itu.

Dia butuh waktu. Entah sampai kapan itu.

Tangan Joe terulur ke depan, mencoba memeriksa apakah hujan masih turun atau tidak. Namun tangannya bahkan belum sempat menyentuh air hujan karena tubuhnya yang spontan berbalik begitu seseorang memanggil namanya.

"Joe! Tunggu!"

Suara itu benar-benar tidak asing. Joe jelas tahu itu. Dan karena dia tahu jugalah niat untuk lari menerobos hujan muncul. Namun tangan Joe langsung ditahan, digenggam kuat.

"Joe, mau sampai kapan kamu ngehindarin aku?  Emang kita musuhan?"

"Ra, aku buru-buru."

Joe berusaha untuk menarik tangannya, namun dia gagal. Eira has the death grip of her hand.

"Nggak bisa gitu kita ngobrol bentar aja, Joe?" Eira memohon. Sebenarnya Joe lemah sekali kalau Eira sudah memohon. Tapi dia tidak bisa.

Tidak. Dia tidak bisa mencurahkan seluruh isi hatinya pada sahabatnya ini sementara sebagian dari dirinya mereka Eira sudah mengambil sesuatu darinya.

Tapi itu konyol. Sejak awal apa yang Eira dapat bahkan bukanlah milik Joe.

Joe tahu dia konyol. Sangat. Itu juga yang jadi alasannya untuk terus menghindar.

"Aku nggak bermaksud buat..."

"Ra, stop. Jangan dilanjutin, I'm begging you," Joe langsung memotong. Matanya seakan sudah siap berair dan mengeluarkan semua air dari bendungan, tapi Joe mati-matian menahannya.

Genggaman tangan Eira melonggar. "Kamu marah, Joe?"

Joe hanya diam. Dia tahu seharusnya dia menggelengkan kepala, tapi dia justru mengangguk.

Eira jelas saja kaget. Sejak mengenal Joe di bangku SMA pertengkaran mereka tidak pernah seserius ini. Hanya soal handuk, pakaian, dan omelan saat salah satu dari mereka terlambat.

Tapi "lelaki" tidak pernah masuk dalam list. Kecuali yang ini masuk hitungan.

Kadang Eira benci fase dewasa. Kalau saja mereka tidak beranjak dewasa, mungkin mereka nggak akan pernah bertengkar hanya karena ini.

"You know, seharusnya aku juga marah sama kamu, Joe," kata Eira, begitu pelan namun telinga Joe masih bisa menangkap frekuensi suaranya. "You take what I want the most."

Tidak ada lagi senyuman di wajah Eira. Mata gadis itu berubah tajam, namun terbersit kekecewaan besar dalam tatapan itu.

"Ternyata kita udah besar ya Joe? Dan kita udah sama-sama dewasa buat bikin sahabat sendiri sakit."

Dengan kata-kata itu, Eira melangkah menjauh. Joe merasa bodoh karena dia hanya bisa diam. Tapi dia tahu dia tidak akan mampu untuk berlari dan meminta maaf pada Eira.

Di sini dia juga sakit, bukan?

Joe berjongkok, memeluk lututna sendiri dan menyembukan wajah di sela pahanya. Digigitnya bibir bagian dalamnya kuat, persetan berdarah atau tidak.

"Joe, lho kok lo di situ?"

Bersamaan dengan langkah kaki yang mendekat ke arahnya, suara itu terdengar. Joe mendongak dan mendapati Jimin.

Kemunculan Jimin justru membuat dadanya makin terpukul.

"Lo kenapa?"

Joe tidak menjawab pertanyaan itu. Kendati menjawab dia justru bergumam kecil selagi kembali menenggelamkan kepalanya.

"Bang, terlalu banyak orang yang sakit gara-gara gue."

*

Arata's Noteu:

Mau cepet namatin, tapi... Ada tapinya nih. Aku labil. Aku labil. Aku labil. Banyak banget alur soal ini yang kepikiran tapi yakali semua... Hhhhh mak anakmu bingung~ :')

Menurut kalian enaknya ini empat manusia diapain, gais?

Straw To Berry (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang