Joe dirawat di 304, Ra. Just if you want to visit her, jadi aku kasih tau.
Eira memandangi layar ponselnya sambil melangkah masuk ke dalam flat, menutup pintu kosan dan melempar tas ke lantai begitu saja.
Joe sakit. Eira sendiri tidak tahu kenapa dan apa penyebabnya, tapi perasaannya tidak enak. Joe menghilang begitu saja sementara Eira ingin membicarakan banyak hal. Things was so complicated back then.
Baru saja mau beranjak ke tempat tidur, bunyi ketukan pintu terdengar, membuat Eira menoleh sesaat ke arah pintu dan diam di tempat. Mulutnya baru saja mau terbua dan bertanya, tapi suara si pengetuk pintu sudah lebih dulu terdengar.
“Ra, ada di dalam?”
Bang Jimin?
Mata Eira membulat sesaat. Dia tahu suara siapa yang baru saja ia dengar, tapi justru karena dia tahulah dia ragu.
Bang Jimin ke sini? Untuk apa?
Pilihan untuk terus berjalan dan membiarkan pintu tetap tertutup sebenarnya cukup menggoda Eira, tapi dia justru mendapati diri sendiri berjalan lurus ke depan pintu, membuka pintu seakan tidak ada keraguan yang terbersit.
Dan Jimin ada di sana. Di depan pintu. Dengan shirt oblong—sial sekali Eira selalu suka bagaimana Jimin kelihatan cocok dengan shirt—dan berkeringat. Laki-laki itu menunduk, telapak tangan pada lututnya, napasnya tersenggal.
“Glad you are here.” Jimin tertawa dengan napasnya yang berantakan, tapi Eira tidak bisa tertawa. Dia justru agak panik. Atau, oke, benar-benar panik. Yang dia lakukan berikutnya adalah masuk, membuka kulkas dan mengambil minuman isotonik hariannya—botol yang terakhir untuk Jimin.
“Minum dulu, Bang,” kata Eira sembari menyodorkan botol di tangannya. Jimin menengadah sesaat, kelihatan berpikir lebih dulu sebelum akhirnya menerima botol dari Eira.
“Makasih, Ra.”
Eira meraih botol yang Jimin sodorkan kembali kemudian melangkah lagi agar benar-benar keluar dari apartemen. Tangan kanannya menarik gagang pintu dan menutupnya. Jimin menyeka sudut bibirnya sebelum bicara.
“Jadi aku ke sini buat... minta alamat.”
“Alamat?” Eira kelihatan bingung, tapi Jimin justru mengangguk. Eira masih belum mengerti apa yang Jimin maksud sampai akhirnya Jimin bicara lagi.
“Alamat rumah sakit sama kamar Joe dirawat.”
Joe?
Beberapa perasaan mulai bercampur dalam benak Eira, hanya saja rasa sakitnya jauh mendominasi. Eira hanya bisa menggigit bibir bagian dalam, berusaha menahan emosi yang berteriak keluar.
“Taehyung yang suruh aku ke sini.”
Hah! Rasanya Eira mau menertawakan diri sendiri atas ekspektasi konyol yang dia pikirkan. What the hell am I wishing for?
Bagaimanapun, Eira tidak berniat untuk memperpanjang masalah. Dia sudah merasa cukup konyol dengan berteriak malam itu, dan dia yakin Jimin pasti dengar. Jimin sudah tahu soal perasaannya. Kalau memang Jimin memilih untuk begini, Eira bisa apa?
Berkali-kali gadis itu mengingatkan diri untuk terus sabar, untuk mengubur kembali emosinya. Sebisa mungkin Eira tersenyum, namun rasanya aneh. Sudut bibirnya berubah kaku, keras, benar-benar tidak bisa diajak kerjasama.
“Oh, bentar ya, Bang. Aku tulis di—” Eira bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Jimin tiba-tiba menarik tangannya, mencegah Eira masuk lagi ke dalam flat.
“Aku bawa helm dua,” kata Jimin cepat, raut wajahnya kelihatan serius. Eira masih kebingungan di tempat, sebelah alisnya terlihat lebih tinggi dibanding yang satunya.
“Terus kenapa kalau helm dua, Bang?”
Sebuah helaan napas keluar dari bibir Jimin, dan Eira bertanya apa yang salah. Hanya saja dia mendadak tidak bisa berpikir ketika Jimin melarikan tangannya untuk memegang jemari Eira, mengalirkan rasa hangat yang nyaman di sana.
“Kita bareng jenguk Joe. Kamu mau, Ra?”
*
Bentar lagi habis jeng jeng. Yuk kapal kapalnya gimana ini 🙈
KAMU SEDANG MEMBACA
Straw To Berry (✓)
FanfictionBegini cerita Joe Park, si mahasiswa baru dan kakak tingkatnya yang super menyebalkan, Kim Taehyung. Started: June 3,17.