18) Eira & Jimin Story (2)

2.7K 674 79
                                    

Kapan terakhir kali Eira menaiki motor Jimin?

Jika dihitung baik-baik, Eira yakin itu bukanlah waktu yang lama. Hanya saja aneh sekali untuk saat ini Eira merasa semuanya begitu berbeda. Rasanya berdebar sekaligus menyakitkan. Eira memilih untuk meletakkan tangan di atas paha ketimbang melarikan jemarinya untuk menarik jaket denim yang Jimin kenakan.

Eira bertanya apakah mengiyakan ajakan Jimin untuk sama-sama menjenguk Joe adalah ide yang bagus, karena semuanya nampak berantakan dalam otaknya. Dia tidak tahu apa yang harus lakukan di sana, bagaimana dia akan menghadapi Joe, bagaimana sikapnya saat melihat Joe dan Jimin.

Dia tidak ingin membayangkannya, namun semuanya terjadi secara otomatis, dan Eira hanya bisa menahan diri untuk tidak menjadi bayi cengeng yang kemudian berlari pada Ibu dan mengadukan semuanya.

Lagipula yang salah dia. Dia kehilangan sahabat, orang yang dia sukai, sampai kakak tingkat yang sudah seperti kakak sendiri baginya.

Dan satu hal lagi yang Eira sadari telah hilang darinya. Dirinya sendiri.

Mata Eira tertuju pada punggung Jimin, sementara tangannya berada di belakang jok motor, berusaha untuk tidak memegang Jimin.

Don’t touch him. Ever, Ra. Just don’t. Gadis itu bergumam dalam hati, mencoba mengingatkan diri sendiri.

Begitu sampai di persimpangan jalan, Jimin justru berbelok ke kakan, membuat Eira bingung sendiri. Tapi belum sempat Eira bertanya, Jimin sudah berkata, “Ke toko bunga dulu ya, Ra?”

Oh. Ya. Pasti buat Joe. Jimin memang tipikal pria manis. Sayangnya itu membuat Eira sakit sekarang. Tapi jelas Eira tidak bisa menolak, dia menumpang di sini kak?

“Oke, Bang.” Begitu Eira memutuskan untuk menanggapi. Motor Jimin terus melaju hingga berhenti di toko bunga kecil di pinggir jalan. Jimin membiakan Eira turun lebih dulu kemudian memarkirkan motor di sisi jalan.

“Yuk, masuk,” kata Jimin. Tangannya memegang tangan Eira sementara yang satunya memegang helm. Eira kaget, tentu saja. Dan dia bingung bagaimana harus bereaksi.

Kapan terakhir Bang Jimin megang tangan aku ya?

Begitu masuk Eira bisa melihat ada dua wanita di dalam, yang satu lebih muda, satunya lagi sudah berambut putih. Kekosongan mengisi begitu Jimin melepas genggaman tangannya dari tangan Eira, dan sesaat Eira melamun.

“Ah, Jimin bawa cewek rupanya?” Si perempuan yang lebih muda langsung menyenggol Jimin, dan Jimin tertawa kemudian membalas.

“Saya sama dia bukan yang gitu kok, Mbak Han.”

“Masa sih?”

Dari jauh Eira jelas bisa mendengarnya. Ya, kita emang bukan yang kayak gitu kan, Bang?

Hani menolehkan kepala ke arah Eira dan tersenyum, membuat Eira sedikit malu untuk alasan yang dia sendiri tidak begitu mengerti. Tapi fakta yang dia sadari, nampaknya Jimin cukup sering ke sini. Jimin beli bunga buat siapa?

“Pasti Eira ya?” Hani melangkah mendekat, masih dengan senyuman yang sama. Entah bagaimana caranya Hani bisa tahu namanya, tapi Eira hanya mengangguk. Dan entah kenapa senyum Hani justru semakin melebar. Tatapan Hani masih ada pada Eira ketika dia bicara pada Jimin. “Kamu mau bunga yang gimana, Jim? Kayak biasa?”

“Boleh, Mbak,” sahut Jimin. Dia berjalan mengikuti susunan panjang bunga lily. “Sekalian sama bunga yang biasa dibeli orang buat ngebesuk orang.”

“Oke.” Hani mengedipkan matanya pada Eira sebelum berlari dan masuk ke ruangan lain, sementara itu Jimin bergerak mendekat ke arah Eira.

Banyak pertanyaan yang ada dalam benak Eira, seperti kenapa Jimin sering ke sini, bunga apa yang sering dia beli, sampai pada siapa bunga-bunga itu terkirim. Tapi Eira tahu dia tidak punya hak untuk bertanya. Lagipula, untuk apa juga?

Straw To Berry (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang