Adegan pukul-pukulan pun terjadi tepat di depan mataku. Adu jotos melawan tujuh orang sekaligus bukan hal yang mudah tentunya. Rakha, dengan cukup lihai menangkis segala pukulan yang mengarah padanya. Dia berhasil melumpuhkan satu orang dengan satu pukulan keras di perut, sampai orang itu tersungkur di aspal. Keenam temannya yang terlihat geram mulai menyerang Rakha. Namun, lagi-lagi dengan lihai Rakha menghindar dan menangkis serangan yang datang, ia bahkan melakukan serangan balik.
"Bangun lo, Anjing!"
Meski lawannya sudah terkapar lemah di aspal, namun Rakha terlihat belum puas menghajar mereka. Mukanya masih merah padam. Aku takut melihat ekspresi Rakha yang menyeramkan seperti itu.
"Cabut, woy! Cabut!" Salah satu dari orang-orang itu bangkit dan memerintahkan yang lainnya untuk segera kabur.
Akhirnya mereka semua bangkit dan secepat mungkin naik ke motor masing-masing lalu melesat pergi.
"Cih! Kabur." Rakha tersenyum sinis kemudian berjalan menghampiriku.
"Lo nggak diapa-apain, kan, sama mereka?" tanyanya.
Aku menggeleng, masih syok atas kejadian barusan.
"Bagus kalo gitu." Dia tiba-tiba menggandeng tanganku. "Ayo, gue anterin pulang."
Aku menatapnya, lalu menangkap ada luka di pipi kiri Rakha. Sebuah luka kecil, seperti goresan kuku. Buru-buru kulepas gandengan tangan Rakha dan mengambil plester yang selalu kubawa di tas. Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung menempelkan plester di pipinya yang sedikit berdarah. Rakha hanya diam memperhatikanku sampai selesai.
"Luka lo nggak begitu parah, cuma kegores dikit. Entar begitu sampe di rumah, lo buka plesternya."
"Hm. Gue anterin lo pulang," ajaknya lagi.
"Nggak usah, ngerepotin. Gue nunggu adek gue jemput aja."
"Lo nggak takut orang-orang itu bakal dateng lagi ke sini pas lo nunggu jemputan? Gue, sih, mau balik sekarang." Dia berjalan menuju motornya yang terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri.
Aku langsung bergidik takut, membayangkan orang-orang itu datang lagi dan memaksaku untuk ikut dengan mereka. Aku menoleh pada Rakha, bertepatan dengan dia yang menyalakan mesin motornya. Tak ada pilihan lain.
"Eh... tunggu!" Sedetik sebelum dia melajukan motornya aku berseru, "Anterin gue pulang."
Dia tersenyum puas. "Ya udah, cepet, keburu hujan."
Benar. Di atas sana awan sudah sangat menghitam. Menandakan bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Aku berjalan ke arah motor Rakha, dia melepas helm yang semula dikaitkan di lengan kirinya dan memberikannya padaku.
"Nih, pake," ucapnya.
Aku menerimanya sambil menatap Rakha bingung.
"Udah, cepet pake. Udah gerimis, nih."
Gerimis mulai turun. Aku segera memakai helmnya dan langsung naik ke atas motor. Namun, Rakha belum juga melajukan motornya.
Aku menepuk pundaknya. "Cepetan jalan, keburu hujan gede entar."
Rakha melepas sweater biru miliknya lalu menoleh ke arahku. "Pake. Seenggaknya, kalo hujan, lo nggak basah kuyup banget."
Aku menatap sweater itu, ragu, merasa serba salah. Di satu sisi, Rakha menunjukkan kepeduliannya padaku dan berniat baik. Tapi di sisi lain, aku merasa serba salah jika mengingat Alder sekarang. Dia pasti sangat tidak suka akan hal ini. Tapi sebentar lagi hujan akan turun, karena suara gemuruh sudah bersahutan di atas sana. Dan Rakha masih setia menyodorkan sweater miliknya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...