CHAPTER 34

680 96 9
                                    

"Tak bisakah kau bermain adil denganku?"

Dongha terkekeh. Bukankah ia sudah adil? Apa yang tidak adil dengan memberi adiknya pilihan. "Kenapa kau tak membunuhku saja?"

Dongha membasahi bibirnya. "Jadi, mana yang kau pilih diantara mereka?"

"Aku tak akan memilih siapapun." Ucap Yoojung tegas. Sedang Dongha malah tersenyum tipis.

"Satu." Ucapnya mulai menghitung. "Lima hitungan."

Yoojung mengerutkan kening. Sementara Dongha mulai mengambil sesuatu di balik saku hodienya. Yoojung pikir Dongha akan mengeluarkan pistol itu. Namun ia salah. Tangan Dongha kini menggenggam sebuah pisau lipat.

"Dua."

Dongha membuka pisau lipatnya. Ia mengitari Sohyun membuat gadis itu semakin panik dan menangis histeris. Ujung pisaunya menari di pipi Sohyun. Yoojung mengepalkan tangannya kuat. Ia harus memilih. Namun ia benar-benar tak ingin memilih diantara keduanya.

"Tiga. Ayo, Yoo, pilihlah. Aku akan berbaik hati memperlambat hitunganku."

Pikiran Yoojung kacau. Tak mungkin ia membiarkan salah satu dari dua orang terdekatnya menjadi korban. Ia bahkan tak tahu maksud pilihan yang akan ia buat. Akankah pilihan itu akan menyelamatkan orang yang ia pilih atau membunuhnya. Namun waktu membuat pikirannya tak dapat berpikir normal.

Ditengah kecamuk pikirannya, Yoojung merasakan sebuah tangan menyentuh tangannya pelan. Yoojung tahu itu Taehyung yang berada di belakangnya. Apakah talinya lepas? Menyadari hal itu Yoojung berusaha menutupi Taehyung.

"Empat."

Taehyung menelan salivanya berat. Sebenarnya ia telah sadar sejak Dongha menutup pintu loteng. Namun ia memutuskan untuk berpura-pura pingsan untuk berusaha melepaskan ikatan di tangannya. Tak peduli betapa lecet tangannya, ia membiarkan kulit pergelangan tangannya mengelupas. Meski perih, kekhawatirannya pada Yoojung menguatkannya.

"Larilah, Yoo." Bisiknya pelan. Yoojung meggigit bagian dalam bibirnya kuat dan menggeleng perlahan.

Ujung pisau lipat mengitari leher Sohyun. Dongha sedikit menekannya menimbulkan goresan tipis yang perih disana. Sohyun berteriak sia-sia. Plester yang menutupi mulutnya membuat membuatnya putus asa dan berhenti berteriak. Kini ia hanya menangis sambil memejamkan matanya.

"Li-ma." Dongha tersenyum menampakkan giginya. Hitungan terakhir telah selesai. Dia memiringkan kepalanya. dongha berdiri di belakang tubuh Sohyun yang terikat di kursi sedang tangannya yang memegang pisau lipat telah menekan kulit leher Sohyun. Mulai menggoresnya perlahan. "Kau terlambat, Yoo."

***

Dua mobil polisi tiba di depan bangunan tua bersamaan dengan mobil merah Minjae. Mijae turun dengan tergesa-gesa dan menemui lima polisi yang datang. Mereka berbincang serius dan mengangguk cepat.

Polisi menyiapkan pistol mereka siaga. Membuka gerbang pelan. Sementara Minjae mengikuti di belakang mereka. Minjae begitu khawatir sekarang. Mereka tiba di depan pintu. Satu polisi mengangguk member aba-aba.

Namun, belum mereka membuka pintu rumah tua tersebut, suara letusan peluru tiba-tiba terdengar dari dalam sana. Minjae terkejut begitupula kelima polisi tersebut. Lantas tanpa peduli ia mendahului kelima polisi tersebut mengabaikan teriakan marah para polisi yang menyuruhnya berhenti.

Tidak. Taehyung pasti ada di dalam sana. Yoojung juga. Entah mengapa firasatnya buruk. Lengannya mendadak di tahan seorang polisi. Keempat polisi lainnya berlari masuk menuju sumber suara letusan peluru tersebut.

"Tahanlah, nak! Kita tak tahu situasi seperti apa di dalam sana!" ujar polisi itu mengingatkan.

***

Crystal Snow ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang