chapter 1

13.9K 342 14
                                    

Perpisahan itu tidak ada yang
Menyenangkan,
Karena
Kita harus merelakan seseorang
Untuk
Meninggalkan kita
Dan
Pergi dari kita,
Walau hanya sementara,
Atau mungkin
Selamanya.

***

Semua berawal ketika aku dan kedua sahabatku ingin mondok ke pesantren, saat itu kita bertiga sudah berada di depan pesantren yang bercatkan hijau terang.

Kami sudah tak sabar ingin memasukinya, tapi sebelum itu kita bertiga harus berpamitan dahulu kepada ibuku yang telah mengantarkan sejauh ini, yang menemani kami sampai kesini.

"Yang betah ya... nak," ucap ibu sambil memelukku dengan erat, yang membuatku seketika berusaha menahan air mata, aku tak ingin kalau sampai ibu melihatku dan kemudian ikut bersedih.

"Iya bu," jawabku singkat lalu melepaskan pelukannya.

"Kalian berdua juga yang betah ya...," ucapnya pada fatimah dan lisya kedua sahabatku.

"Siap tante!" jawab mereka hampir bersamaan.

"Ibu, kami masuk sekarang."

"Baiklah," jawabnya lembut. Dari situ aku bisa melihat kalau ia berusaha untuk menahan air matanya agar tidak keluar, aku yang melihat hanya bisa terdiam membiarkan rasa yang mengusik ini lebih baik terkubur.

Niatku yang ingin mondok dengan mendadak ini, membuat keluarga lumayan shok. Karena mereka pikir setelah lulus dari SMP Negeri, aku akan sekolah di SMA Negeri, tetapi sayangnya dugaan mereka salah.

Aku ingin memperbaiki diriku menjadi lebih baik dan menjadi sosok gadis mandiri. Itulah niatku. Dan kedua sahabatku, lisya, fatimah mengikutiku, katanya sih mereka ingin selalu bersamaku dan menjadi sahabat selamanya, tentu saja aku tidak akan menolak, karena sebenarnya aku juga senang mereka ada.

***

Kami langkahkan kaki untuk masuk ke pesantren ini, terlihat enam kelas yang ada dibagian depan yaitu tiga kelas untuk SMP dan tiga kelas untuk SMA. Jadi satu angkatan hanya terdiri satu kelas. Memang pesantren ini tidak terlalu besar dan merupakan pesantren campuran, maka tak heran bila kami melihat beberapa santri dan santriwati yang sedang berbincang- bincang biasa.

Semua pasang mata menatap ke arah kami, mungkin mereka sangat kagum dengan kecantikan kami bertiga. Hahaha ya enggak lah, cuma bercanda. Tentu saja mereka menatap karena kami adalah santri baru.

Ada beberapa santri yang menyambut dengan mengucapkan salam pada kami, ada juga yang menanyakan apa kami santri baru dan ada juga yang menatap sekaligus melirik tidak suka.

Kami melihat ke arah tempat yang bertuliskan "kantor" dan dengan segera kami langsung menuju ke tempat tersebut.

Namun saat itu aku merasakan ketidaknyamanan pada kakiku, dan aku pun tersadar kalau ternyata srampat sandalku lepas.

"Alisya! Fatimah!."

"Iya, ada apa?" tanya lisya menoleh ke arahku yang berada tepat di belakang mereka.

"Kalian duluan saja, srampat sandalku lepas."

"Serius?"

"Iya serius," jawabku berusaha untuk meyakinkan mereka.

"Ya sudah."

Mereka berdua pun melanjutkan langkah kaki mereka, sedang aku berjongkok untuk fokus memperbaiki sandal yang telah lepas srampat-nya itu. Sangat menyusahkan.

"Ukhti?"

Seperti terdengar suara dan langsung saja aku menoleh ke atas, keasal suara tersebut. Terlihat seorang pemuda__santri tepatnya berdiri membuatku pada akhirnya ikut berdiri di hadapannya.

"Ukhti? Ukhti?."

Entah mengapa dia seperti berbeda, wajahnya tampan, manis dan sepertinya ia baik juga alim. Aku bisa melihatnya menggerakkan bibirnya tapi entah mengapa aku tidak bisa mendengar suaranya.

Kemudian ia melambaikan tangannya d ihadapanku. "Ukhti? Ukhti?."

"Iya!" jawabku tersentak dan aku baru tersadar kalau ternyata aku telah menatapnya sampai tak berkedip. Bodohnya diriku, apa yang telah kupikirkan? Apa mungkin aku telah terpana dengan ketampanannya. Astaghfirullah!! Ingat aku kesini untuk berubah, bukan untuk mencari laki-laki.

"Ukhti butuh bantuan?"

"Tidak usah ikhwan, ini hanya srampat sandalku saja yang lepas...," jawabku dengan lembut dan sok alim.

"Jangan begitu ukhti, terkadang kita harus menerima bantuan orang lain yang ingin menolong kita."

Mendengarnya berkata begitu, aku mengaku menyerah dan kemudian menganggukkan kepala lalu menyerahkan sebelah sandalku kepadanya.

Ia berjongkok, sangat serius memperbaiki sandal jelekku itu. Dan setelah beberapa saat, ia menyerahkannya kembali padaku.

"Ini ukhti."

"Terima kasih ikhwan, wahh... jadi seperti baru lagi," pujiku tidak bohong karena memang srampat sandal itu bisa melekat kembali dengan rapinya.

Santri tersebut hanya tersenyum dan kemudian pamit pergi di hadapanku dengan sopan. Aku terdiam, seperti menhir yang sudah lama tidak diperhatikan, tidak dilihat dan diamati oleh orang-orang yang menyukai sejarah. Termakan waktu selama bertahun-tahun, seperti hatiku yang sudah sekian lama berkarat tapi tiba-tiba hari ini menjadi tajam karena baru ditempa dan masih panas.

***

Kamis,1 februari 2018.

                     

Persahabatan Dan Cinta Pesantren [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang