BAB 8 : An Angel

19.5K 1K 178
                                    

Happy Reading.


Bukannya semakin menjauh, kian hari hubungan Iqbaal dan Vanesha menjadi semakin dekat. Berangkat bersama, kantin bersama, jalan di lorong bersama, pulang pun bersama. Keduanya bak sepasang sandal yang harus sepasang ke mana-mana. Tentunya hal ini menimbulkan presepsi di banyak pikiran.

Banyak yang mengira mereka jadian namun semua itu tidak ada bukti nyata karena masing-masing tak satu pun mengupload sesuatu hal yang menekankan mereka berpacaran. Sebagian setuju, seperempat menolak, dan seperempatnya lagi pasrah. Katanya, semua terserah Iqbaal. Emang aku siapanya? Terdengar menyesakkan namun kaum pasrah tak memiliki alasan lain.

Pagi ini, entah mengapa mood Salsha benar-benar kacau. Dia merengut sepanjang jalan, berjalan lunglai dengan tatanan rambut berkuncirnya. Dia terlalu malas untuk mencatok hingga memilih menguncir satu surai panjangnya.

Setelah sampai di kelas, dia pun melempar tas di meja dan menangkupkan kepala di telapak tangan. Khas Salsha sekali ketika ia sedang dalam mood buruk.

Lima menit setelahnya, Steffi datang bersama Jeha. Gadis itu langsung duduk di bangkunya tanpa menyapa Salsha. Meski ia sedang badmood namun dia mengerti benar tabiat Steffi. Salsha menoleh ke arah Jeha yang baru saja duduk.

"Kenapa?"

"Galau dia. Kak Daniel balikan sama mantannya," kata Jeha sembari menatap punggung sahabatnya itu.

"Kak Yona?" Jeha mengangguk. Salsha pun hanya diam tak lagi bertanya. Sebenarnya dia masih penasaran apa benar sahabatnya itu jatuh hati pada teman kakaknya. Namun suasana hatinya tak lebih baik membuat Salsha bungkam.

"Lo kenapa?" Salsha menoleh ke arah Jeha kemudian menggeleng pelan sebagai jawaban tidak apa-apa.

"Iqbaal lagi?"

Salsha diam. Jeha selalu tahu apa yang dia pikirkan meski gadis itu tak memiliki ilmu penerawangan. Jeha berdecak—cukup keras hingga Salsha mendengarnya.

"Jalan Sha. Hidup gak akan cuma stuck di Iqbaal doang. Masih banyak yang lain." Jeha mulai menyuara membuat Salsha mendengar, tidak, menjadi pendengar tepatnya.

"Lo cantik, populer, kaya, dan punya semua hal. Lo bisa milih cowok hanya dengan sekali tunjuk."

"Tapi enggak dengan Iqbaal, Jeh. Dia gak bisa gue milikin walau udah gue tunjuk sekalipun."

Jeha mendesahkan napas kasar. Dia menatap sahabatnya dengan tatapan nanar. Ia mengusap bahu Salsha, memberi kekuatan pada remaja itu. "Gue yakin, suatu saat elo akan dapetin cowok yang baik lebih dari Iqbaal kalau bisa."

Salsha hanya diam. Dalam hati ia berharap, kalaupun ada dia mau Iqbaal. Kalaupun bisa.

Bel masuk pun berbunyi keras, perlahan ruang kelas yang senggang mulai terisi siswa. Pak Asraf selaku guru olahraga pun masuk ke dalam kelas, menyuruh siswa memposisikan diri tuk berdoa yang dipimpin lewat speaker. Jam pertama hari Kamis adalah saat di mana kelas Salsha olahraga. Satu per satu siwa mulai berjalan keluar kelas untuk ke ruang ganti, tentunya setelah mendapat arahan dari Pak Asraf. Salsha, Steffi, dan Jeha berjalan beriringan menuju ruang ganti.

"Jangan cemberut pipi lo udah setebel buku sejarah!" Jeha berceletuk sembari menoel pipi Steffi. Gadis berambut terang itu mendelik.

"Gak lucu tau, Jeh!"

"Ya emang gue gak lagi ngelawak."

Steffi menggeram sedangkan Jeha malah memasang wajah sok polos. Steffi membuang muka, ke mana saja asal tak memandang wajah menyebalkan Jeha.

"Kalian tuh gak asik. Cowok tuh bukan mereka aja. Move on dong!" Jeha menggerutu yang tak diindahkan oleh kedua sahabatnya.

"Kalian tuh cantik, rajin nyalon, kece, kurang apalagi coba? Yang lebih dari Iqbaal sama Daniel mah banyak di luar sana."

My Sweetest ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang