Hujan 3

4.6K 192 2
                                    

One Call Away - Charlie Puth

Napas Biru terengah-engah saat ia sudah sampai di tempat yang ia tuju. Balkon sekolah, adalah tempat paling bagus untuk menenangkan diri.

Disini sepi dan nyaris tidak ada orang kesini. Maka Biru tak akan malu menangis dengan kencang sampai berteriak seperti orang gila disini.

Setelah puas menangis, Biru menyeka air matanya yang keluar barusan. Perasaan yang Biru rasakan sekarang bercampur aduk. Bingung, sakit, sedikit senang, dan benar-benar terkejut.

Pertanyaannya sekarang, kenapa Biru bisa menabrak Bintang? Dan… Kenapa Bintang ada disini… Lagi..?

Biru menatap sepatu kets hitam miliknya. Masih bersih mengilap. Biru bingung. Bukankah sepatunya sudah usang?

Biru meraba seragam sekolahnya dan samar-samar mencium bau seragam baru. Seragamnya masih putih bersih, seperti baru dibeli baru.

Dan, anehnya lagi, Biru merasa rambutnya yang diterpa angin bisa sampai menutupi wajah Biru. Padahal rambutnya baru saja ia potong pendek.

Biru meraba rambutnya lalu menyisirnya dengan pelan dengan sela-sela jemarinya. Panjang. Rambutnya panjang.

Biru kaget setengah mati, ia segera bangkit dari duduknya di ujung balkon yang tertutup dinding putih itu. Biru menelan air ludahnya.

Ia mengingat-ingat lagi, kenapa ia bisa berada disini. Dan kenapa rambutnya menjadi panjang.

Ketakutan mulai merasuki Biru. Apa jangan-jangan……. Permintaannya dikabulkan oleh Tuhan?

Biru kembali berpikir keras, sepatu baru, seragam baru, dan rambut masih panjang.

Apa jangan-jangan Biru kembali disaat ia baru pertama kali masuk sebagai murid ajaran baru sekolah menengah akhir?

Dengan cepat Biru meraba kantong rok warna abu-abunya, ada sesuatu didalam roknya. Pasti itu handphonenya.

Tangan Biru meraih handphonenya dan membuka kunci layar. Matanya tertuju pada tahun.… 2014…?

Padahal seharusnya tanggal 2017. Biru hampir saja menjatuhkan handphonenya. Jantungnya sekarang benar-benar ingin copot dari tempatnya.

"Hoi! Ngapain disini?" dan benar saja. Jantung Biru sudah copot dan tubuh Biru hampir jatuh. Ah lebay.

Biru sadar dari lamunan dan rasa takutnya saat melihat laki-laki didepannya muncul secara tiba-tiba.

"Langit?" tanya Biru seakan tidak mengenal laki-laki tampan itu.

"Kok muka lo kek orang bloon gitu sih?" tanya Langit memperhatikan wajah Biru seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Terlebih lagi tadi Biru bengong sendirian dengan muka panik.

"Ehh, masa?" Biru meraba wajahnya dengan tangannya. Langit tertawa melihat tingkah Biru yang semakin kayak orang bodoh.

"Njir, lo kenapa gila. Lagi panik banget kayaknya." Langit semakin menyipitkan matanya yang sudah sipit, menelusuri wajah Biru lebih dalam.

"Dan.. Hmm, lo abis nangis ya?"

'Mampus….' Biru menjadi tidak tahu harus menjawab apa. Ia pun mencoba untuk berbohong ke Langit walaupun Langit tidak akan mungkin percaya dengan bohong Biru yang tidak professional.

"Emm itu… Mata gua kelilipan.." jawab Biru sambil pura-pura mengucek matanya seakan matanya kena debu beneran.

"Dih, emang debunya bejibun ya sampai mata lu merah parah gitu?" tanya Langit nggak percaya sama bohongnya Biru. Tuhkan, Langit nggak percaya. Ish, Langit menyebalkan, padahal Biru lagi ingin sendirian malah dia datang kesini.

"Ish, yaudah bukan urusan lo." ketus Biru sambil mengalihkan wajahnya dari Langit.

"Eh sono masuk ke kelas, baru aja hari pertama masuk kelas sepuluh malah bandel."

"Lo sendiri ngapain disini? Sok-sokan nasehatin orang." Biru menatap kesal kearah Langit. Langit terkekeh.

"Gua mah cowok, cabut gini nggak apa-apa. Lah lo, cewek malah cabut, mau jadi apaan neng?"

"Bodo, yang nakal kan gua."

"Dih dibilangin juga. Gua nggak maulah lo jadi anak nakal." ucap Langit dengan cengiran. Biru memutar bola matanya sebal.

Hening mulai menyelimuti diantara mereka. Hanya ada semilir angin yang membuat keadaan menjadi adem.

"Baru masuk sekolah aja galau, abis ditolak kakak kelas MOP ye?" tanya Langit meledek Biru. Biru menghentakkan kakinya kesal.

"Nggak sih, gua tuh lagi galau karena Bintang!" ups, Biru keceplosan.

Senyuman Langit memudar. Niatnya ingin menggoda Biru menjadi hilang.

Langit pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar balkon sekolah.

"Eh eh, mau kemana?" tanya Biru yang tidak sadar akan perubahan raut wajah Langit. Biru malu karena ia memanggil nama Bintang secara tiba-tiba dan mengungkapkan alasan galaunya ke Langit. Mudah-mudahan Langit nggak godain dia dengan embel-embel Bintang.

'Kan Langit selalu begitu. Menggoda Biru dengan nama orang yang Biru taksir.

"Mau ke kelas aja, entah kenapa tiba-tiba gue pengen jadi anak teladan." jawab Langit tanpa mau melihat wajah Biru. Biru menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Yaudah, bye!" Biru masih tak menyadari perubahan Langit.

"Ohya, jangan kebanyakan galau, ntar makin pendek baru tahu rasa."

Biru pun melempar sepatu kets hitamnya kearah Langit. Tapi sayangnya tidak mengenai Langit karena laki-laki itu sudah berlari dan mengumpet dibalik pintu.

Langit memeletkan lidahnya kearah Biru dan segera menuruni tangga. Biru menatap kesal kearah Langit. Hah… Teman sekolah menengah pertamanya itu memang sangat menyebalkan.

Setelah kepergian Langit, Biru kembali duduk di pojok sambil terus merenungi apa yang terjadi.

Rasa sakit itu kembali memberi nyeri dihati Biru.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia takut. Panik. Bingung. Tak tahu harus melakukan apa.

Tapi hal yang paling membebaninya sekarang adalah, Bintang tidak mengenal Biru. Berarti ia kembali ke masa lalu sebelum ia kenal Bintang.

Tanpa sepengetahuan Biru, Langit masih berdiri dibelakang pintu. Ia cemburu bahwa Biru menangis karena Bintang. Untung saja Biru kasih tau dia blak-blakan, kalau tidak, nanti malam pasti ia akan sangat cemas sekali.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang