Bab 5. Menyusun Rencana

127 12 2
                                    

Tidak bisa tanpa adanya cinta. Karena, cinta di butuhkan dalam membina rumah tangga untuk bisa hidup bahagia.

***

"Kiara cepat bangun!" Teriak Marni sambil menarik selimut dari tubuhnya dengan paksa sehingga membuat Kiara terbangun.

Kiara dengan pelan mengerjapkan matanya, tubuhnya terasa sedikit lemas tidak biasanya bangun tidur seperti ini. Tiba-tiba tumpukkan pakaian di lempar ke arahnya membuat Kiara yang masih mengumpulkan nyawa merasa terkejut terlebih pakaian itu mengenai wajahnya.

"Sepertinya mengurungmu di kamar adalah keputusan yang salah, cepat cuci pakaian itu, sudah dua hari berada di keranjang!" Perintahnya dengan sedikit bentakan.

Kenyataannya, tenaganya selalu di butuhkan di rumah ini. Tetapi, mengapa selalu di perlakukan tidak baik, selama ini ia selalu menurut apa pun yang Bibinya perintahkan, tanpa pernah mengeluh.

"Kenapa masih diam saja? Ayo buruan cuci!" Bentaknya.

"Baik, Bi, aku akan mencucinya." Malas untuk berdebat, lebih baik menurut saja. Kiara memunguti pakaian kotor milik Marni juga Diana.

"Jangan lupa buat sarapan juga, repot kali dua hari ini tanpa pembantu." Sambil berlalu pergi.

Kiara hanya bisa bersabar, tidak pernah terlintas pikiran untuk membalasnya. Walau bagaimana pun, sejahat apa pun beliau tetaplah Bibinya, yang selama ini sudah mengurusnya, walau tanpa kasih sayang.

Akhirnya kini ia bisa beraktivitas kembali, setelah dua hari ia di kurung di kamar dan hanya di beri makan sehari sekali, itu pun hanya nasi saja tanpa ada lauk pauknya. Tentu saja ia sangat jenuh, hanya bertemankan dengan kesepian. Saat itu, Diana sempat memohon kepada Ibunya supaya ia tidak di kurung di kamar, namun tidak di respon. Bahkan kunci yang sempat Diana ambil, sudah di amankan sang Ibu sehingga Diana tidak bisa menemuinya lagi.

Kiara sama sekali tidak memberontak dan memilih pasrah karena kabur pun tidak bisa, selagi Bibinya masih memberi makan tentu harus ia syukuri walau pun hidupnya tidak bisa bebas.

"Kak?" Panggil Diana. Kiara yang sedang memasukkan pakaian ke mesin cuci segera menoleh, dua hari hanya mendengar suaranya kini ia kembali melihat wajahnya.

"Akhirnya Ibu membebaskanmu, aku begitu khawatir padamu, Kak. Kau baik-baik saja 'kan? Maaf aku tidak bisa menolongmu," lanjutnya dengan raut wajah sedih.

Satu lagi yang harus ia syukuri, yaitu mempunyai Diana yang begitu baik padanya. Gadis inilah penyemangatnya selama ini, makannya hal yang tidak mungkin ia lakukan adalah menyakiti Diana.

"Aku baik-baik saja, Bibi tetap memberiku makan, artinya dia masih menginginkan aku hidup." Kiara melempar senyumnya.

"Kak, tidak ada yang mau seperti ini, aku tidak tau mengapa Ibu begitu membencimu, padahal selama ini kau begitu baik juga penurut."

"Sudah, tidak usah di pikirkan, aku juga tidak mau mempermasalahkannya. Mungkin kesalahan Ibuku di masa lalu begitu fatal, sehingga tidak bisa termaafkan, sampai membuat Bibi menjadi benci padaku."

Rasanya memang tak adil, Ibunya yang membuat kesalahan tetapi ia yang kena imbasnya. Tetapi, ia tidak boleh menyalahkan sang Ibu, mungkin memang takdirnya harus seperti ini.

Diana hanya bisa mengelus punggung Kiara, dia merasakan kesedihan yang selama ini Kiara rasakan. Tetapi ia pun tidak bisa menghentikannya, Ibunya begitu keras dan kolot.

Asmara dalam Dendam (Open PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang