3- Lo Harus Mengerti

61 3 0
                                    

Setelah meninggalkan Renata, Nathania pulang ke rumahnya dengan berlinang air mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah meninggalkan Renata, Nathania pulang ke rumahnya dengan berlinang air mata. Di rumah, hanya ada ia dan adiknya. Untungnya ibunya sedang pergi rapat waktu itu sehingga ia bisa menangis sepuasnya.

"Gue gak ngerti lagi."

"Jujur, gue gak ngerti." Nathania melepas dasi dan sabuknya sambil menangis.

"Sebenarnya, kenapa gue mencintai orang yang gak mencintai gue? Kenapa sih cinta membuat gue jadi bodoh? Kenapa cinta mempermainkan gue?"

Nathania mengganti seragamnya dengan baju rumah berwarna ungu dan celana pendek. Ia pergi untuk menaruh seragamnya dan kembali menemui adiknya di kamar. Ternyata, adiknya sedang tidur.

"Bagus, nang. Lo gak ngeliat kakak lo menderita begini."

"Gue gak mau lo sedih juga. Gue gak tega ngeliat lo sedih, nang."

Ia kembali ke kamarnya. Sebelum itu, ia juga membuatkan adiknya minum supaya disaat adiknya bangun tiba- tiba, adiknya bisa langsung mengambil minum.

Nathania kembali ke kamarnya dan kembali menangisi Andrew.

"Betapa bodohnya gue!"

"Aku bodoh." Nathania semakin menyalahkan dirinya sendiri.

Kepala Nathania sakit. Otaknya seakan ingin meledak. Nathania menggeram. Perilakunya seperti orang yang terkena virus flare sekarang. Otaknya kerasukan setan.

Ia mengambil handphonenya yang terletak di meja. Ia membuka instagram. Otaknya semakin dipenuhi setan. Namun, sepertinya kalian telah mengetahui apa yang Nathania lakukan.

Dasar onta! Jahat lo! Cowok macam apa lo! Semua cowok sama aja ya!? ONTA!

Klik.

Wajahnya berkeringat. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hati nuraninya mengeluarkan penyesalan. Semua sudah terjadi. Andrew sudah bersama Kaya dan e- mail yang ia kirimkan tidak bisa ia tarik. Terjadi galat jaringan.

"Benar juga ya apa kata Renata."

"Eh," perkataannya terpotong,"gue minta tolong Rena kali ya?"

Disela- sela isakannya, ia mencoba menelpon Renata. Jari jemari mungilnya menekan nomor Renata dengan lincah. Nada sambung telah berbunyi. Namun, Renata tak kunjung mengangkat teleponnya.

"Ren.... angkat. Ren.... angkat."

Nathania mencoba menghubungi Renata lagi.

"Ren, maafin gue. Tolong angkat, Ren! Angkat!"

"Ren..." Nathania menghela napas,"Gue minta maaf. Gue nyesel." Nathania memelankan suaranya.

Nathania menyerah. Ia menyerah sampai kepalanya terantuk meja. Perasaan perempuan itu labil memang. Kadang begini, besoknya begitu, nantinya begono. Ia juga bukan unta di padang pasir yang kalau disakiti, ia malah tambah maju.

ZwingenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang