Segmen 4 [Revisi]

221 37 8
                                    

Beberapa hari sebelum Woohyun sampai di hutan larangan...

Nam Wohyun kini berada pada sebuah kamar mewah di istana Diexin. Kamar itu luas dengan dekorasi elegan di setiap sudutnya. Ranjang besarnya bahkan tertutupi oleh kelambu berbahan sutra bersulam benang emas. Kasur big size-nya terbentuk dari kapas-kapas halus berwarna putih yang terasa nyaman digunakan untuk berbaring. Di kamar itu, para dayang istana menunggu dengan khidmat. Mereka ditugaskan oleh Raja Woojin untuk menjaga Woohyun. Selain menjaga pangeran mereka, para dayang istana juga diminta menyiapkan beberapa keperluan untuk Woohyun, seperti; baju kebesaran seorang pangeran, makanan, dan keperluan lainnya.

Perlahan, kelopak mata Woohyun mulai terbuka. Kali pertama yang ditangkap indera penglihatannya ialah langit-langit kelambu. Sekenanya, Woohyun memaksakan otaknya yang baru saja istirahat itu untuk bekerja.

Aku di mana?

Ia mengedarkan pandang. Di sisi kiri tempatnya berbaring, terlihat dua hingga tiga bayangan—yang merupakan dayang—tengah duduk menelutut menghadap ke ranjangnya yang tentu saja Woohyun tak dapat melihat rupa mereka dengan jelas karena terhalang oleh kelambu. Dari siluet tersebut, Woohyun mengetahui bahwa mereka adalah wanita. Hal itu tampak jelas, karena para dayang istana menggelung rambutnya, menyisakan beberapa helai rambut yang dibiarkan terurai di kedua sisi wajah.

Yang Woohyun ingat terakhir kali ialah netranya yang menangkap suasana hutan, batang pohon yang memiliki wajah menyeramkan dan juga tiga makhluk aneh bersayap yang mengelilinginya tepat sebelum kesadarannya lenyap.

"Permisi. Bolehkah aku bertany—"

"Pangeran sudah sadar?" potong salah satu dayang istana, "Jika begitu, aku akan mengabarkan berita gembira ini kepada yang mulia Raja."

Salah satu dayang tersebut kemudian keluar dari kamar Woohyun.

Woohyun terkesiap.

"P-pa-pangeran?" Woohyun bangkit. Ia belum bisa menelaah maksud perkataan salah seorang dari dayang wanita tadi. Kakinya kini menapak pada lantai, bermaksud untuk keluar dari tempat tidurnya.

Woohyun menyibak kelambu. Sontak wajah tampannya tergugu dengan rupa kamar yang ia tempati. Dua dayang istana itu masih tertunduk, bukan enggan menatap, tetapi itu bentuk hormat pada pangeran mereka lantaran Woohyun diakui sebagai anak oleh Raja Woojin. Tidak ada daya tolak selain menerima keputusan raja mereka.

"Eh?" Woohyun keheranan melihat dua wanita yang masih dengan sikap sopan menelutut di lantai. Belum sempat Woohyun mengucapkan isi kepalanya, pintu kamar dibuka. Sosok pria paruh baya berwajah rupawan, yang juga memiliki garis dagu yang tegas itu masuk. Pakaian kebesaran raja dengan warna dasar putih dilengkapi aksen emas pada beberapa bagian. Tak ketinggalan pula jubah merah yang melekat di kedua pundaknya, menambah wibawa sang raja. Serta-merta, pria paruh baya itu mendekap Woohyun.

"Anakku," ujar pria itu yang langsung menghambur ke arah Woohyun. Woohyun membiarkan tubuhnya direngkuh sesaat sebelum akhirnya si pria paruh baya itu melepaskan pelukannya.

Woohyun menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dengan ekspresi bodoh itu, ia memperlihatkan rasa bingung yang saat ini menguasai dirinya.

"Maaf, tapi...., siapa kalian?" tanya Woohyun sembari meniti satu persatu sosok-sosok yang mengelilinginya.

"Mereka semua abdimu. Dan... ini aku, Nak. Ayahmu," jawab Woojin santai.

Mata Woohyun memicing dengan dahi berkerut, "Ayahku? Ti-tidak mungkin." Ia menggeleng dan perlahan mundur.

Dia bukan ayahku. Ayahku sudah meninggal.

"Tenanglah, Nak," pinta Woojin melihat gelagat Woohyun yang perlahan menjauhinya. Sorot mata Woohyun menandakan keheranan dengan tempat itu. Rasa bingung bercampur ketakutan kini hinggap di diri Woohyun.

Ruse of The Chess [sedang direvisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang