Prolog [Revisi]

382 38 4
                                    

Sebuah ledakan terjadi di sudut hutan. Degam suara tersebut mengakibatkan sang guru mencibir sinis.

"Ceroboh," tukasnya ketika mendapati murid bodohnya tak kunjung bisa mengendalikan kekuatannya. Sang pelaku memasang wajah murung.

Bagaimana ini? Raut kekecewaan terlihat jelas di wajahnya.

Sang guru kemudian bertutur, "Sudah kubilang, fokuskan pikiranmu pada satu titik dan bayangkan benda itu remuk."

"Kau bicara seperti itu seolah kau tak pernah mengalaminya."

"Tidak pernah. Aku selalu berhasil dalam sekali coba," jawabnya sembari tersenyum remeh. "Pikiranmu masih belum tenang. Kau masih dibayangi rasa takut. Dan justru itulah yang membuat kekuatanmu membuncah tak terkendali," lanjut sang guru yang kemudian memberikan contoh. Ia mengangkat tangan kanannya, memainkan jari telunjuknya, seolah tengah menggambar sebuah lingkaran sempurna di udara. Dengan sedikit menyentakkan telunjuknya, sebuah apel yang berada di udara hancur dengan sendirinya.

"Kau harus lebih berusaha lagi." Sang guru melemparkan lima puluh buah apel ke udara, membiarkannya menggantung setinggi lima meter.

"Kau harus sudah menghabisi mereka ketika aku kembali." Sang guru dengan seenak hati melangkah pergi. Hari ini ia akan keluar hutan untuk mengetahui berita terbaru kerajaan.

"Hei! Kau mau ke mana?" seru sang murid yang tidak mendapatkan jawaban.

Ia mendengus kasar, sebelum akhirnya kembali berlatih meremukkan lima puluh apel tanpa menyentuh ataupun menggunakan bantuan.

***

Ruse of The Chess [sedang direvisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang