"Can i say no?" Gifta bertanya pada dua orang dewasa yang duduk di hadapannya.
"No!" Jawab Tanureja tegas dan tak terbantahkan.
"So, mengapa Mama Papa masih bertanya lagi apa Gi mau atau tidak. Mama Papa kan sudah punya jawabannya." Gifta menatap kedua orangtuanya yang duduk berdampingan. Tangannya saling meremas. Gifta sudah pasrah akan nasibnya.
"Terserah. Lakukan apa yang Mama Papa rasa benar. Bukankah selama ini selalu begitu? Di rumah ini Gi nggak punya hak, apalagi kuasa untuk bersuara. Gi nggak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan Gi sendiri. Jadi lakukan apapun yang Mama Papa mau." Lanjut Gifta.
Gifta tahu kata-katanya barusan sangatlah tidak sopan. Tapi, kekesalan hatinya membuatnya melupakan sopan santun yang seharusnya ia tujukan kepada kedua orang tuanya.
"Semua untuk kebaikanmu Gifta. Semua." Timpal Wulandari yang duduk di samping sang suami.
"What ever, Mama. Gi nggak peduli. Dari Gi TK sampai sekarang, Gi tak pernah pernah diberikan kesempatan memilih. Semua Mama dan Papa yang menentukan. Jadi terserah. Lakukan yang memang menurut Mama Papa baik untuk Gi." Jawab Gifta sebelum beranjak dari duduknya.
"Tetap di tempatmu, Gifta! Papa belum selesai bicara!" Panggilan Tanureja tak diindahkan sama sekali oleh Gifta. Ia sudah terlalu kesal.
Berlari kencang, Gifta menuju kamarnya di lantai dua. Gifta tak peduli kalau kakinya akan tersandung lalu terjatuh di tangga. Gifta tak peduli. Bahkan Gifta berharap dia jatuh menggelinding lalu tak sadarkan diri, agar Papanya tak menjalankan rencana gilanya. Menikahkannya dengan pria yang dia tak tahu siapa.
•••
"Oh, come on! Aku itu masih muda, Mam." Febe mengerang mendengar kata-kata Maminya.
"32 tahun. Dan kamu bilang masih muda? Dimana otak pintarmu itu, Nusantara Feberani." Ratna mengatai anaknya.
Febe memutar matanya mendengar kata-kata sang Mami. Apa salahnya berumur 32 dan belum nikah. Nggak ada. Tapi Maminya yang bawel malah mengatainya tak punya otak -itu yang ditangkap Febe dari kata-kata Maminya tadi-
"Untuk pria, usia segitu masih muda, Mam." Jawab Febe tak mau kalah.
"Mami nggak peduli. Mau kamu bilang usia 45 itu masih muda juga terserah kamu. Yang Mami tahu itu, sebelum Oktober nanti kamu harus menikah. Titik. Nggak ada tapi-tapian! Atau kamu jadi gembel aja sana!" Ancam Maminya.
"Oh ayolah, Mam. Itu nggak adil." Febe mengusap wajahnya frustasi. Dia harus mencari cara agar Maminya menghentikan niat gilanya. "Selama ini aku ikut serta memajukan perusahaan kita. Aku turun tangan langsung. Trus sekarang, gara-gara aku belum nikah, Mami seenaknya aja nyabut hak aku? Aku punya hak penuh atas perusahaan ini, Mam. Aku satu-satunya anak Mami. Aku ahli waris dari Nusantara Technologi." Beritahu Febe.
"Satu-satunya tapi nggak berguna buat apa?" Febe melotot mendengar kata-kata pedas Maminya. Maminya memang wanita paling egois dan keras kepala. Sama sepertinya. Mereka berdua sama-sama mempunyai kemauan keras hingga tak seorang pun yang bisa menghalanginya termasuk Papinya, Jayanada, yang sedari tadi hanya menjadi penonton perdebatan ia dan sang Mami.
"Menikah dan beri kami cucu atau kamu kehilangan warisan kamu. Pilih mana?" Rasanya mata Febe keluar dari tempatnya mendengar ancaman Ratna.
"Ayolah Mam minta apapun asal jangan menikah. Aku nggak bisa." Febe mencoba bernegosiasi.
Ya kali Febe harus jadi gembel gara-gara deadline istri. No way, Febe nggak mau.
"Kenapa?" Tanya Ratna.
"Apanya?" Febe bertanya balik.
Ratna berdecak mendengar pertanyaan bodoh anaknya. "Kenapa kamu nggak mau nikah? Atau kamu penyuka sesama jenis?" Ratna memijit keningnya, kepalanya langsung pusing membayangkan orientasi seksual anaknya.
"Jangan mikir yang aneh-aneh, Mi, please." Febe panik sendiri mendengar prasangka Maminya. "Aku nggak mau nikah karena perempuan itu semuanya menyebalkan, Mami contohnya, bawel."
Mata Ratna membola mendengar kata-kata anaknya yang tidak punya sopan santun sedikitpun. Diambilnya bantal sofa lalu dilemparnya ke arah Febe. "Papi, lihat anak kamu!" Adunya pada sang suami yang sedari tadi hanya menjadi pendengar yang baik.
"Sekarang kalian berdua berlomba menyudutkanku." Febe takut Mami akan berkolaborasi dengan Papinya untuk menyudutkanya.
"Satu aja susah buat ditaklukkan apa lagi dua," batin Febe
Jayanada menghela napasnya. "Untuk yang terakhir kalinya, ikuti apa yang Mami kamu mau Febe."
Nah kan. Febe nyerah deh kalau sang Baginda sudah ikut bersuara.
•••
With love,
Libra
KAMU SEDANG MEMBACA
Being Happy ...
General FictionPernah merasakan kau tak punya pilihan untuk hidupmu sendiri? Pernah berada dalam posisi di mana kau tak punya kuasa untuk menentukan apa yang kau inginkan dalam hidupmu? Gifta selalu berada dalam posisi itu. Sepanjang hidupnya, selama dua puluh sat...