"Jadi gimana?" Pertanyaan ambigu Wulandari membuat Gifta yang tengah bersantai di ranjangnya mengernyit.
Gimana apanya coba? Ucap Gifta di dalam hati.
"Gimana pendapat kamu tentang Febe." tanya Wulandari lebih jelas karena melihat kernyitan di dahi anaknya. Wanita tua itu duduk di samping Gifta yang sedang memeluk bantal spider kesayangannya.
"Nggak gimana-gimana sih." Jawab Gifta sekenanya. Ya mau ngasih pendapat apa coba kalau ketemu baru tadi dan itupun cuma dua jam-an.
"Ckk," Wulandari berdecak mendengar jawaban Gifta. "Ya, first impression kamu lah, Non." Wulandari memanggil Gifta dengan nama kecilnya.
"Gi nggak bisa menilai orang hanya sekali lihat gitu, Ma. Butuh waktu lama baru Gi bisa kasih pendapat." Aku Gifta jujur. Gifta tak jago soal nilai-menilai itu. Butuh waktu untuk Gifta baru dia bisa berkata orang itu baik atau buruk.
"Lupakan tentang sifat. Gimana tentang tampang. Kamu merasa tertarik?" Tanya Wulandari antusias.
"Well, kalau ketampanan bisa menjamin kebahagiaan, Gi rasa Gi tertarik."
"Lah, kok?" Tanya Wulandari tak mengerti.
"Ya kan tujuan perjodohan Gi dan dia adalah untuk menikah. Nah, harapan seseorang ketika sudah menikah adalah bahagia. Dan kalau ketampanan yang dipunya bisa menjamin kebahagiaan pernikahan Gi kelak, Gi rasa Gi tertarik."
Wulandari melongo mendengar jawaban anak gadisnya yang tidak terduga. Dipikirnya Gifta akan menjawab pertanyaannya dengan jawaban, "biasa aja sih." Jawaban pasrah yang sering diberikan orang-orang yang terpaksa menjalani perjodohan, eh taunya Gifta malah menjawab di luar bayangannya. Kan kalau begini Wulandari nggak bisa memberikan jawaban andalan nan sok bijak, "Kan dari mata turun ke hati, Gi. Siapa tahu lama-lama kamu bisa suka sama calon suamimu itu."
Wulandari merangkum kedua tangan Gifta dalam genggamannya, "Nggak mungkin kami orang tua menjerumuskan anaknya dalam kubangan penderitaan. Percayalah ini semua demi kebahagiaan kamu. Kami memutuskan ini semua bukan tanpa pertimbangan. Dia adalah calon potensial untukmu. Mama Papa harap kamu ikhlas menerima semua keputusan ini."
Wulandari sangat tahu anak gadisnya masih belum menerima keputusan sepihak yang suaminya tetapkan. Dan tugasnya lah untuk memberikan pengertian kepada anak gadisnya ini bahwasanya apa yang suaminya tetapkan bukan hanya demi kepentingannya sendiri namun semua adalah untuk kebaikan Gifta kelak.
"Gi nggak tahu." Lesu Gifta
menjawab.Benar. Gifta tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia masih gamang. Hatinya masih kuat untuk menolak. Namun sudut terpencil di hatinya coba untuk beri peluang meskipun keraguan itu tak bisa untuk diungsikan. Gifta hanya butuh sedikit diyakinkan.
•••
Mungkin sudah takdir Gifta untuk menikah dengan pria pilihan orang tuanya. Karena sekuat apapun penolakan yang Gifta lakukan. Seekstrim —ekstrim menurut Gifta itu adalah mogok bicara yang berujung dengan tidak keluarnya dana harian alias uang jajan— apapun perlawanan yang coba dilakukannya. Hanya dengan satu kejadian akhirnya Gifta pasrah. Gifta tak bisa melawan takdirnya.
Ingatan Gifta melayang pada kejadian sebulan yang lalu ketika ia akhirnya menyetujui permintaan orangtuanya.Gifta berlari kencang di koridor rumah sakit. Tidak peduli bunyi dari langkah kakinya akan menggangu orang lain. Yang ada dipikiran Gifta sekarang hanyalah cara agar ia bisa segera sampai di ruangan tempat papanya dirawat. Ia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kondisi pria pertama dalam hidupnya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Being Happy ...
Ficção GeralPernah merasakan kau tak punya pilihan untuk hidupmu sendiri? Pernah berada dalam posisi di mana kau tak punya kuasa untuk menentukan apa yang kau inginkan dalam hidupmu? Gifta selalu berada dalam posisi itu. Sepanjang hidupnya, selama dua puluh sat...