Keep Alive My Brother (Part 1)

833 47 17
                                    

"Argh!"

Seorang laki-laki meringkuk di tempat tidurnya yang sederhana sambil menarik-narik rambutnya sekencang yang dia bisa, bahkan sudah banyak rambut pendeknya yang tercabut hanya untuk mengurangi rasa sakit yang menusuk-nusuk kepalanya, tapi percuma, rasa sakit itu seakan tumbuh semakin besar, menyiksanya semakin dalam hingga cairan merah kental mengalir begitu saja dari lubang hidungnya.

"Astaga Fabi!" teriak seorang gadis yang sedikit lebih tua dari laki-laki itu. Dia menjatuhkan tumpukan cucian kering yang dia bawa begitu saja dan berlari secepat mungkin menghampiri Fabi, adiknya yang tengah kesakitan.

"Sa...kit, kak..." rintih Fabi sambil menjambak-jambak rambutnya. Lara yang melihat hal itu langsung menarik tangan Fabi, membiarkan Fabi menggenggam lengannya, bahkan mencakarnya. Lara mengangkat sedikit kepala Fabi yang berada di tempat tidur agar bertumpu di pahanya sedangkan sebelah tangan Lara mengusap kepala Fabi, berusaha meredakan rasa sakit yang Fabi rasakan meskipun itu terlihat mustahil.

"Tahan Fab, kita ke rumah sakit sekarang!" Fabi mencengkeram lengan kakaknya itu erat-erat sambil mengerang tertahan. Matanya yang sedari tadi tertutup dia paksa untuk terbuka. Begitu terbuka, mata yang sudah memerah itu mengalirkan air mata dari keduanya, membuat Lara semakin menderita melihatnya.

"Ja...ngan," ucap Fabi tertahan. Dia masih mencengkram erat lengan Lara seolah berusaha menyalurkan rasa sakit yang tengah dia rasakan sekarang. Lara, dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya, menerima seluruh rasa sakit itu dengan tangan terbuka. Apapun akan dia lakukan hanya agar Fabi tidak menderita, apapun, termasuk menerima rasa sakit ini.

"Kita harus ke rumah sakit Fab, dokter bisa mengurangi rasa sakitnya. Kakak mohon, nurut ya Fab?"

Anak laki-laki berusia 14 tahun itu menggeleng pelan, setelahnya dia mengerang lagi saat rasa sakit itu menghujam ke seluruh tubuhnya, membuat Lara semakin histeris saja.

"Kamu belum minum obat? Di mana obatnya?" Fabi tidak menjawab, dia sepertinya sudah dikuasai oleh rasa sakit yang tidak terkira, membuat suara Lara hanya berupa dengungan saat masuk ke dalam gendang telinganya.

"Obat kamu habis? Kamu gak checkup kemarin?" tanya Lara setelah menemukan botol-botol obat milik Fabi kosong, tidak ada satu butir pun yang tersisa. Seharusnya kemarin jadwal check up Fabi dan sepertinya adiknya itu tidak melakukannya. Lara benar-benar kecewa sekarang, tapi kekecewaannya tidak bisa menutupi rasa khawatirnya dengan kondisi adiknya sekarang.

Uhukk, uhukk!!

"Fabi!!" Lara menjerit sekencang yang dia bisa. Adiknya kini terkulai tidak berdaya setelah menyemburkan darah segar saat dia terbatuk keras tadi. Lara semakin panik dibuatnya. Tubuh Fabi yang sangat kurus berada tepat di pangkuannya dengan darah mengenai hampir seluruh pakaiannya, berceceran di lantai dan lebih banyak lagi di tubuh Fabi.

"Kakak mohon bertahan Fab..."

^^^

7 tahun, 7 tahun dia harus melihat Fabi menderita seperti ini. 7 tahun dia harus ikhlas melihat Fabi berteriak kesakitan, mimisan, muntah darah, bahkan pingsan seperti tadi. Tapi baru 2 tahun ini dia harus menghadapinya sendiri, menenangkan Fabi saat dia kesakitan, mengurus asupan gizi dan obat Fabi, juga kehidupannya, sendiri. 2 tahun, setelah kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dan membuat mereka berdua yatim-piatu dalam satu malam.

"Lara?" Lara mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk tepat beberapa detik setelah namanya dipanggil. Seorang dokter paruh baya yang sudah dia kenal baik tengah berdiri tepat di depannya sambil melepaskan sneli yang dia pakai.

"Dia baik-baik aja, 'kan Om?" tanya Lara parau. Laki-laki paruh baya itu menghela napas panjang sebelum mengambil tempat duduk tepat di samping Lara dan menggenggam tangan Lara.

This Love... ✓Where stories live. Discover now