For You (Part 2)

458 47 7
                                    

Eza kritis. Itu yang dokter katakan pada Rio beberapa saat yang lalu dan Rio hanya bisa mengangguk mengerti meski dengan air mata yang tertahan di pelupuk mata. Ini sudah sangat sering terjadi pada Eza saat dia kambuh. Dia akan memasuki fase kritis dan bangun dalam beberapa jam, atau berubah menjadi koma dan bangun dalam beberapa hari. Tapi yang pasti, Eza akan terbangun!

Rio segera berlari ke resepsionis, mendaftarkan nama Eza dan mencarikan ruangan terbaik yang bisa rumah sakit berikan. Rio tidak peduli harga, tidak peduli juga kalau Eza marah saat sadar nanti, dia hanya ingin Eza beristirahat dengan nyaman selagi dokter berusaha mengembalikan kondisi tubuhnya.

"Sorry, gue nyusahin lo lagi." Rio buru-buru menutup koran pagi yang baru dia buka dan menatap Eza lekat-lekat. Laki-laki itu tengah tersenyum padanya dengan senyuman paling tolol yang pernah Rio lihat. Apa laki-laki itu tidak tahu dirinya tidak sadarkan diri hampir 3 hari?

"Nyenyak banget tidur lo, 3 hari gak bangun," sindir Rio sambil menekan tombol di atas ranjang Eza untuk memanggil perawat dan dokter yang menangani Eza. Eza tertawa pelan di balik masker oksigen yang menutupi hampir setengah wajahnya.

"Hai Za, udah puas tidurnya?" Lagi, kali ini dokter yang menanganinya lah yang menyindirnya dan Eza kembali tertawa pelan.

"Masih sesek gak?" Eza mencoba menarik napas beberapa kali sebelum menggeleng pelan. Memang benar, dia sudah tidak merasakan sesak lagi, hanya lemas dan itu sangat wajar karena dia baru bangun dari tidur panjangnya. Dokter Dewa memeriksa kondisi Eza sambil sesekali menyuruh perawat di sampingnya menulis sesuatu di kertas yang dia bawa untuk laporan kesehatan Eza.

"Kita akan menjadwalkan pemeriksaan jantung lagi," kata dokter Dewa dengan tenang sambil menyuruh perawat yang dia ajak ke ruangan Eza untuk melepas masker oksigen yang Eza gunakan dan menggantinya dengan nasal kanul. Di sampingnya, Rio menatap Eza dengan sendu, seolah takut kehilangan, padahal Eza nya sendiri terlihat santai dan justru tertawa dengan santainya.

"Jantungnya mulai bermasalah dok?" tanya Rio khawatir. Dokter Dewa meminta catatan kesehatan Eza dan membandingkannya dengan pemeriksaan sebelumnya.

"Memang ada penurunan kekuatan jantungnya memompa darah, tapi belum bisa dipastikan seberapa parahnya, ada indikasi aritmia juga. Makanya perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Harusnya masih dua bulan lagi, tapi kita majukan sesegera mungkin daripada terlambat." Rio hanya bisa mengangguk menanggapi kata-kata dokter Dewa. Tubuhnya lemas, sepertinya belum sanggup menerima kabar seburuk ini. Memang masih dugaan, tapi jika sudah mengenai jantungnya, berarti penyakit Eza semakin parah.

"Tenang aja, kita bakal atasi bersama. Kamu gak perlu khawatir. Istirahat aja yang banyak biar bisa cepet keluar dari rumah sakit. Udah gak betah di sini, 'kan?" Eza mengangguk sambil tersenyum, lain dengan Rio yang masih menatapnya sendu. Eza sebenarnya masih ingin berbicara lebih lama lagi pada Rio, tapi sepertinya tubuhnya masih belum bisa diajak bekerja keras, matanya berat dan tidak lama dia jatuh tertidur bahkan ketika dirinya tidak ingin kembali tertidur.

"Dia tidur?" tanya Rio bingung. Dokter Dewa mengangguk. Dia menyuruh perawat yang sedari tadi berdiri di luar ruangan Eza untuk masuk. Rio kaget melihat perawat itu masuk sambil membawa alat yang tidak asing untuk Rio. Alat rekam jantung.

"Buat apa dok?"

"Rekam jantung, seperti yang saya bilang tadi, ada indikasi aritmia dan detak jantungnya terdengar lemah, saya pikir harus dipantau, menghindari dia gagal jantung sewaktu-waktu."

"Tapi, katanya masih mau diperiksa, kenapa udah dipasang sekarang?"

"Justru karena kita belum tahu seberapa parahnya kita, hanya bisa melakukan ini. kalau sudah tahu pasti permasalahannya apa, kita bisa ambil tindakan lain."

This Love... ✓Where stories live. Discover now