For You (Part 4)

663 54 12
                                    

"Minggir," kata Rio dengan suara yang dingin, begitu juga dengan tatapan matanya yang menatap lurus ke orang-orang yang tengah menghadang jalannya.

"Gue bilang minggir!" teriak Rio marah. Dia mencoba menerobos kerumunan orang yang semakin banyak di depannya itu, mencoba mencegangnya maju.

"Minggir!"

Rio benar-benar marah sekarang. Dia mundur sedikit, pura-pura berbalik dan ketika semua orang lengah dengan pergerakannya, dia kemudian berlari menerjang orang-orang itu dan mendobrak pintu ruang operasi yang tengah tertutup rapat.

"Bangun! Lo udah janji! Ngapain lo tidur di sana?! Bangun lo!" teriak Rio dengan air mata mengalir deras di wajahnya yang merah padam menahan marah. Tidak, bukan marah, dia tengah menyalurkan rasa takutnya dengan cara yang berbeda. Dia benar-benar ketakutan sekarang ini.

"Eza! Bangun lo! Beraninya lo tidur di sana! Bangun!"

"Mas, di dalam sedang ada operasi, tolong tenang." Seseorang menarik tangan Rio dengan kasar, tapi Rio lebih kasar lagi. dia menyentakkan lengan itu dan mendorongnya kuat-kuat hingga orang itu jatuh terjengkang.

"Bangsat! Persetan! Gue gak peduli, Eza! Bangun lo!"

Bukk!

Satu pukulan mendarat tepat di tengkuk Rio, membuatnya kehilangan kesadaran bahkan sebelum dia sempat menyadari apa yang tengah terjadi. Perawat yang ada di depannya dengan sigap menangkapnya dan membawanya pergi dari ruang operasi. Kegaduhan yang dia timbulkan mungkin sudah mengganggu dokter Dewa yang ada di dalam sana, tapi selama dokter itu tidak keluar, mungkin masih belum ada sesuatu yang buruk.

Dokter Dewa menghela napas panjang. Teriakan Rio sedikit banyak mengganggu konsentrasinya, membuatnya berkali-kali menarik napas panjang untuk mengembalikan konsentrasinya. Tubuhnya membeku melihat kondisi hati Eza yang begitu buruk, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, begitu juga dengan jantung Eza. Dokter Dewa hanya bisa menghentikan pendarahan di lambung Eza, membersihkan tenggorokan Eza dari darah dan menutup kembali sayatan yang dia buat.

Maaf Eza.

Sekali lagi dokter Dewa menitikkan air mata tanpa suara sambil melihat pasiennya itu. Dia merasa gagal menjadi dokter, bahkan sebelum pasiennya benar-benar pergi dari hadapannya. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, dia hanya bisa membantu Eza meringankan rasa sakitnya dengan obat-obatan dan transfusi darah setiap harinya, tidak ada lagi.

Jangan khawatir, Dok. Kita atasi sama-sama.

Kata-kata Eza terus terngiang di benaknya. Entah kenapa anak itu justru menyemangatinya, membesarkan hatinya, padahal harusnya dokter Dewa lah yang melakukan hal itu. Dokter Dewa semakin merasa bersalah. Eza adalah pasien pertama yang dia tangani saat dia mendapat gelar spesialis. Sudah 20 tahun ini dia menjadi dokter yang menangani Eza dan mungkin Eza adalah pasien pertama yang gagal dia sembuhkan.

Maafkan saya, Za.

^^^

Eza membuka matanya perlahan. Silau. Sakit. Perih. Dia tanpa sadar menghela napas panjang dan kembali memejamkan matanya untuk beberapa detik. Namun begitu matanya kembali dibuka, sosok bertubuh tinggi, tegap itu tengah menatapnya tajam dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Eza menatapnya masam, Rio pasti akan memarahinya sebentar lagi.

"Lo udah janji." Rio berucap datar sambil mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di samping ranjang Eza. Eza tersenyum di balik masker oksigennya. Tangannya bergerak melepas masker itu meskipun dadanya masih sesak, "Dan gue kembali. Gue di sini, sesuai janji gue."

"Lo gak bangun seminggu lebih. Beberapa kali jantung lo berenti. Lo udah janji!"

"Dan gue kembali, setelah seminggu lebih."

This Love... ✓Where stories live. Discover now