Keep Alive My Brother (Part 2)

496 41 8
                                    

Kali ini bukan hanya hidupnya dan Fabi yang Lara khawatirkan. Bukan hanya kondisi Fabi dan kondisinya, tapi juga keuangannya yang semakin memburuk. Meskipun dokter itu sudah membantu biaya pengobatan Fabi bahkan menggunakan fasilitas kesehatan dari pemerintah, Fabi tetap masih kekurangan banyak dana dan uangnya tidak akan mampu untuk menyelesaikan pengobatan Fabi sampai minggu depan.

"Lara?" Lara mengerutkan keningnya melihat laki-laki yang berdiri di depannya itu. Dia masih mengumpulkan serpihan ingatannya tentang laki-laki yang kini sudah tersenyum di depannya sambil menatapnya lekat-lekat itu, tapi sepertinya serpihan itu tersebar terlalu jauh hingga Lara tidak bisa mengingatnya sama sekali.

"Gue Hendra kalo lo lupa. Kita tetanggaan sampai 8 tahun yang lalu keluarga lo mutusin buat pindah ke Jakarta." Lara semakin mengerutkan keningnya. Kali ini ingatannya tentang laki-laki bernama Hendra berkumpul di otaknya, seolah ada sebuah film dokumenter yang diputar di dalam kepalanya, tapi laki-laki bernama Hendra di dalam ingatannya jauh berbeda dengan laki-laki yang mengaku Hendra di depannya ini.

"Hendra? Si kurus pendek itu?" tanya Lara tanpa sungkan, membuat Hendra yang sekarang sudah duduk di sampingnya ini tertawa terbahak-bahak tapi tak urung dia mengangguk juga.

"Iya, gue Hendra yang itu, yang sering lo bully sama Fabi."

"Ya ampun, lo berubah banget sekarang. Udah gak kurus kering lagi."

"Iya lah, capek gue di bully terus sama kalian." Lara tertawa mengingat masa kecilnya bersama laki-laki di sampingnya ini, juga dengan Fabi.

"Jadi inget jaman dulu. Lo ngapain di sini?" tanya Lara penasaran. Dia tidak pernah melihat Hendra selama dia dan Fabi berada di sini, bahkan sebelum-sebelumnya saat mengantar Fabi checkup.

"Habis jenguk kenalan gue, operasi usus buntu."

"Oh gitu."

"Fabi gimana? Dia apa kabar? Lo ngapain di taman rumah sakit? Atau jangan-jangan lo udah jadi dokter kayak cita-cita lo dulu ya?" Lara tertawa getir. Ya, dia memang pernah bercita-cita menjadi seorang dokter, tapi itu dulu. Jauh sebelum Fabi sakit, jauh sebelum keluarganya berantakan, jauh sebelum hidupnya berantakan.

"Gue bukan dokter, yah, seenggaknya, belum. Udah setahun ini gue ambil cuti di semester terakhir gue. Fabi sakit." Keterangan terakhir dari Lara berhasil membuat tawa di wajah Hendra menghilang seketika. Masih kuat di ingatannya seperti apa jahilnya Fabi, tawa renyah anak laki-laki itu, dan wajahnya yang tidak pernah lepas dari senyuman.

"Fabi, sakit apa?" tanya Hendra dengan suara tergagap. Dia bahkan tidak bisa membayangkan anak itu sakit meskipun hanya demam. Tapi melihat ekspresi dan cara Lara menjelaskan, itu tidak sesimpel demam.

"GBM (Glioblastoma multiforme), tumor otak paling ganas yang pernah ada, udah berkali-kali dioperasi tapi dia tetep tumbuh dan sekarang entah gimana tumor itu nyebar ke seluruh tubuhnya. Biasanya dia bakal kejang-kejang, lumpuh dan bisu waktu kambuh, tapi sekarang, dia bisa sesak napas, mimisan, muntah darah, bahkan pernah henti jantung."

Hendra tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun setelah mendengarkan penjelasan Lara. Dia bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa Fabi sekarang. dulu, di dalam ingatannya, Fabi adalah anak laki-laki dengan tubuh gembul dan kulit seputih susu, membuatnya terlihat begitu menggemaskan di usianya yang belum genap 7 tahun.

"Dia, dirawat di sini?"

"Iya, dia udah jadi penghuni tetap rumah sakit ini selama hampir 3 bulan. Dia udah gak bisa keluar lagi. Dia bisa kambuh kapanpun dan itu bahaya buat Fabi karena setiap kambuh, otot jantungnya bisa berhenti memompa kapanpun dan itu butuh tindakan yang sangat cepat atau gue bakal kehilangan dia selamanya."

This Love... ✓Where stories live. Discover now