RELUNG : 03

223 20 0
                                    

Aku bicara tanpa suara. Meneriaki cinta dalam sebuah rasa. Tapi aku harus memahami, bahwa senja dan fajar tidak akan pernah bisa bersama, untuk menghabiskan setiap waktu yang ada, dan segenap rasa cinta yang telah tercipta sempurna. Aku bahkan menganggap kalau hadirmu sama seperti matahari, selalu kukejar namun tak pernah aku dapati. Hujan memang menjanjikan pelangi. Tapi, tolong bantu aku untuk enyahkan seluruh mimpi. Perasaaan ini menyiksaku dalam sepi. Kembali lagi aku harus memahami, bahwa kamu memang hidup hanya dalam mimpi. Sebuah ilusi yang aku ciptakan sendiri. Sesuatu yang terlahir dari imajinasi. Padahal, dahulu aku menganggapmu sebagai tuan penyuka kegelapan dalam hitam pekatnya sebuah kopi, ketika semesta menunjukku sebagai lentera api. Kubiarkan kamu tetap hidup dalam angan yang tak pernah terlewati. Apa kamu takdirku? Sebuah pertanyaan konyol sang kancil, membuat lamunanku seolah buyar berserakan. Mungkin dia memang bukan takdirku, tapi harus kuakui saat ini dialah kebahagiaanku. Kebahagiaan? Entah, sejak mimpi itu hadir, aku menganggap semua kisah-kisah itu semakin berarti. Dan dia ... Berhasil mencuri sebuah rasa yang singgah di lubuk hati terdalam. Apakah aku mencintainya? Aku bahkan tidak tahu. Perasaan ini sangat sulit kutuangkan menjadi sebentuk narasi puisi. Aku seperti bicara tanpa suara, seperti apa yang hati ini lakukan. Biarkan, aku berkelahi dengan sebuah rasa. Tulisan, Tania Alexandra.

Tania melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tania memutuskan untuk mematikan laptopnya. Sudah hampir dua jam Tania fokus ke layar laptopnya, membuat ia merasakan pegal di bahunya dan jemari pun tampak lelah setelah mengetik di atas keyboard laptop. Tania pun bergegas santai menuju tempat tidur yang terletak tidak jauh dari meja belajarnya. Rasa kantuk semakin menyerang matanya, sesekali ia menguap sampai menitihkan air mata.

Tania terdiam sejenak, ketika ia sudah terbaring di atas kasurnya. Bantal empuknya tak menghilangkan kebiasaan Tania untuk selalu ada dalam posisi tidur menyamping ke kanan dengan berbantal sebelah lengan. Tania menatap sayu ke arah lampu hias yang berada di atas laci meja yang terdapat di samping tempat tidurnya.

"Sejak mimpi itu hadir, gue ngerasa kalau gue berubah," ucap Tania pelan.

Namun ponselnya berdering, tertanda telepon masuk. Terpaksa, Tania pun mengubah posisinya untuk duduk sambil menyandarkan punggungnya ke ujung tempat tidur. Dengan segera, Tania mengangkat panggilan telepon tersebut.

"Hallo, Rat? Ada apa malem-malem nelpon gue?"

"Status lo, kece parah."

"Status?"

"Iya. Status di Facebook lo kece badai. Apalagi caption-caption yang lo tulis di akun instagram lo. Gila, udah nyaris semingguan ini lo udah kayak seorang penyair, Tan. Lo dapet kutipan-kutipan itu dari mana? Dari novel? Novel apaan? Gue boleh pinjem?"

"Bukan dari novel. Semua itu gue tulis sendiri."

"Seriusan lo?"

"Iya. Gue serius."

"Lo kesambet apaan, Tan? Bukannya lo itu anti sama puisi? Lo anti sama hal-hal yang berbau picisan, kan?"

"I-iya. Gue enggak tau, kenapa bisa gue kayak gini. Ya pada intinya, akhir-akhir ini gue mengalami berubahan-berubahan kecil sih dalam hidup gue. Dan kayaknya, gue mau jadi penulis."

"What?"

"Kenapa?"

"Lo mau jadi penulis?"

"Iya. Ada yang salah?"

"Kenapa bisa lo kepikiran buat jadi penulis?"

"Semenjak ... gue punya mimpi kecil yang udah merubah hidup gue. Mimpi yang bikin gue bingung saat ini. Mungkin dengan cara gue menuangkan semua pikiran-pikiran kacau gue ke sebuah tulisan, itu akan membuat gue semakin memahami semua-muanya."

RELUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang