RELUNG : 12

147 18 0
                                    

Jika memang bukan salah cinta yang datang tanpa menyapa. Namun, akankah sanggup mencintai tanpa dicintai?

Mungkin tidak.

Hanya bagi segelintir orang saja yang bisa melewati semua itu dengan berlapang dada. Mungkin memang benar adanya, dan bukan juga salah cinta yang datang tanpa menyapa. Tapi, karena hati terlalu mudah terjatuh pada cinta yang datang memberikan janji kebahagiaan di akhir cerita.

Segelas susu cokelat telah habis diteguk oleh Tania. Pagi ini, Tania sengaja membiarkan rambutnya terurai. Polesan make up yang sederhana di wajahnya mampu membuat auranya terpancar. Dan pagi ini, Tania hanya sarapan seorang diri saja. Sementara, Om dan Tantenya pagi-pagi buta tadi mereka telah berpamitan pergi untuk bekerja. Tania sudah terbiasa dengan semua hal yang harus dilakukan hanya seorang diri. Baginya, kesendirian dan rasa sepi sudah seperti makanan sehari-hari.

Tania mengunyah dua helai roti yang diolesi selai strawberry di tengahnya, ia tampak asyik dengan acara sarapannya pagi ini.

"Lo sarapan, kenapa nggak ngajak gua?"

Tiba-tiba seseorang datang dengan sangat mengejutkan. Sialnya, seseorang tersebut membuat jantung Tania nyaris berhenti berdetak. Kedatangan seseorang itu memang sangat mistik, tiba-tiba langsung menampakan diri dengan posisi duduk sigap sambil melipatkan kedua tangannya, serta sorot mata yang menatap lurus ke arah Tania. Tania dan seseorang itu duduk saling berhadapan—hanya mejalah yang menjadi jarak di antara keduanya.

"Gael! Kedatangan lo bikin gue jantungan." Tania berujar dengan nada kesal. Gael hanya tersenyum miring.

"Lo mau sekolah, ya?"

"Menurut lo?"

"Kalau lo mau sekolah, gue ikut, ya."

"Ikut?"

"Iya."

"Buat apa minta izin? Lagi pula, kalau mau ikut, ya ikut aja. Temen-temen di sekolah juga nggak bakal bisa lihat lo, 'kan? Jadi dijamin gue nggak bakal jadi artis dadakan karena diwawancarai sama beberapa siswi yang mungkin kepo sama kedatangan lo di sekolah." Tania berujar sambil mengunyah sisa-sisa roti, lalu mengambil segelas air putih untuk mendorong makanan agar langsung turun ke perut.

"Oke, kalau gitu."

"Di dunia lo emang nggak ada sekolahan?" Tanya Tania tidaklah begitu penting. Namun tampaknya Gael merespon dengan baik pertanyaan Tania itu.

"Ada. Bahkan, di dunia gue sangat menarik. Lo mau ikut ke dunia gue? Untuk sekedar cari tau tentang dunia gue." Gael menampakkan wajah berseri.

"Apa? Ke alam ghaib? Ogah."

"Why? Seharusnya lo bersyukur, karena di dunia ini, orang yang bisa ngelihat gue cuma dua orang. Si Udin, sama lo. Selain kalian, nggak ada yang bisa ngelihat gue, sekali pun seorang yang punya kelebihan kayak Roy Kiyoshi atau orang  yang punya kekuatan indigo plus plus, atau seorang dukun, seorang ahli santet, paranormal, mereka nggak bisa ngelihat gue." Gael menjelaskan panjang lebar.

Tania hampir tersendak mendengar kalimat Gael. "Kenapa bisa di dunia ini cuma Udin dan gue yang bisa lihat lo?"

"Takdir."

"Takdir? Yakali, hidup itu tidak sekebetulan itu. Semua pasti ada alasannya kenapa gue termasuk salah satu orang yang bisa ngelihat lo."

"Itu disebabkan karena mimpi lo."

"Mimpi?" Tania langsung terdiam, dan mengingat tentang mimpi tempo lalu. Lagi-lagi, Tania harus mengingat tokoh Titan yang terdapat di dalam mimpinya.

RELUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang