"Elvan!"
Bu Andini, sang guru BK yang terkenal cerewet, berteriak memanggil seorang siswa yang baru saja melintas di koridor depan ruang guru.
Siswa itu berpostur tubuh agak tinggi untuk anak seusianya. Memiliki rambut model poni berantakan. Punya senyum khas yang selalu dijadikan senjata andalan untuk menghindar dari hukuman. Ketika dipanggil ia terus saja berjalan. Berpura-pura seolah ia tidak mendengar.
"Elvan Gardenia!"
Suara itu kembali terdengar. Lebih keras dari sebelumnya. Membuat sang pemilik nama dengan refleks menutup kedua telinganya dengan tangan. Menghentikan langkahnya kemudian berbalik.
Pemilik suara teriakan tadi berjalan menghampiri Elvan yang sedang tersenyum manis tanpa menurunkan tangannya dari telinga.
"Coba tolong tangannya diturunin dulu, ya. Ibu mau ngomong." ujar Bu Andini.
"Abisnya Ibu dari tadi teriak terus. Kuping saya kan sakit, Bu." kilah Elvan masih dengan wajah senyum yang sekarang lebih menyerupai ringisan karena giginya yang berderet rapi itu terekspos.
Sang guru hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menghadapi siswanya itu. Pasalnya, seisi sekolah sudah tahu persis kalau siswa bernama lengkap Elvan Gardenia yang sudah jadi langganan pengunjung ruang BK sejak tahun pertamanya sekolah, memang terkenal pandai berkilah kalau berbuat salah. Membuat para guru berakhir dengan mulut kelu tak mampu berkata karena kalau dipikir-pikir dengan logika, alasannya itu memang masuk akal.
"Perasaan Ibu, baru kemarin loh kamu masuk ruang BK karena pake sepatu berwarna. Perlu diulang berapa kali pemberitauannya kalau kamu harus pake sepatu warna item, kaos kaki putih. Sekarang coba liat, kamu pake sepatu putih, tali ijo-orange, kaos kaki merah. Kamu mau main bola apa?"
"Kok Ibu tau aja sih hari ini saya ada jadwal pelajaran olahraga? Tapi, kata Pak Marwan olahraganya basket, Bu. Bukan maen bola." jawab Elvan membuat Bu Andini langsung memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut. Selang beberapa detik, Bu Andini terlihat berusaha mengatur napasnya.
"Elvan, jam olahraga kan cuma dua jam pelajaran. Terus, sisanya yang enam jam pelajaran kan kamu harus pake sepatu hitam sesuai aturan."
"Sisanya yang enam jam pelajaran kan cuma duduk diem di kelas, Bu. Jadi gak pake sepatu juga gak apa-apa kan, Bu?" Elvan menyahut lagi.
"Ya ampun, Van. Kamu itu udah kelas tiga loh. Kapan sih kamu berubah? Serius dikit kenapa sama sekolah kamu? Masa depan kamu itu masih panjang ke depan. Kamu mau gak lulus? Masih betah ketemu Ibu?"
Bu Andini mulai mengeluarkan nasihat andalannya, meski sebenarnya beliau sendiri tidak merasa yakin ceramahnya kali ini akan meresap di hati Elvan. Paling juga masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Namun, setidaknya Bu Andini sudah menjalankan tugasnya sebagai pembimbing konseling."Elvan kan sayang sama Bu Andini. Masih betah, Bu lama-lama di sini." jawab Elvan sambil mengeluarkan senyum andalannya.
"Ya udah, kalau kamu sayang ama Ibu, sekarang kamu lepas sepatu kamu, ya. Terus ke perpustakaan. Bantu Bu Ningsih rapiin buku-buku di sana sampe jam pelajaran pertama selesai. Sepatu kamu Ibu tahan. Kamu nyeker aja sampe hukumannya selesai." vonis Bu Andini yang mulai kehilangan ide untuk meladeni bantahan Elvan.
"Sampe jam pelajaran kedua aja ya, Bu. Tanggung cuma satu jam pelajaran," tawar Elvan yang seketika membuat pelipis Bu Andini kembali berdenyut.
Guru yang usianya sudah hampir separuh abad itu, rasanya ingin pensiun lebih awal saja menghadapi siswa ajaib seperti Elvan.
"Ya udah sana terserah kamu deh, mau dekem di perpustakaan sampe jam kedua selesai juga gak apa-apa. Yang penting jangan keliaran dan buat ulah di luar. Bisa pusing kepala Ibu." ceracau Bu Andini sambil mengelus dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Lilac ✓
Teen FictionElvan Gardenia si troublemaker sekolah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang gadis manis bernama Lilacyta Serafina yang pertama kali ia lihat di bawah guguran bunga Lilac. Segala cara Elvan lakukan untuk menarik perhatian cinta pertaman...