Elvan menggeleng-gelengkan kepalanya takjub pada diri sendiri. Senyum senang bercampur bangga mengembang di wajahnya tatkala pagi itu ia mendapat kesempatan emas untuk mencari Lilac-nya.
Ia takjub sekaligus heran bagaimana bisa ia berbuat sejauh ini hanya karena seorang gadis? Untuk pertama kalinya ia merasa amat senang diberi hukuman. Senangnya berkali-kali lipat dari biasanya. Ini gila. Tapi, ia bisa lebih gila kalau secepatnya tidak menemukan sosok gadis itu berada di kelas mana.
Setelah beberapa hari ia absen membuat ulah, hari ini ban motornya kempes di tengah jalan sehingga ia harus menambalnya dulu. Akibatnya, ia terlambat sampai di sekolah. Wakil Kepala Sekolah bagian kesiswaan juga koordinator guru BK, Bu Andini sudah stand by di gerbang sekolah saat Elvan tiba.
Seperti biasa, Elvan hanya cengengesan saat diberikan wejangan. Berulang kali ia bilang alasannya terlambat, tetapi tidak ada yang percaya. Mereka berpikir kalau Elvan sedang mengarang cerita. Baiklah, apalagi yang bisa Elvan perbuat selain pasrah.
“Hukumannya, anter buku absen ini ke semua kelas.” ujar Pak Rahmat, Wakil Kepala Sekolah bidang kurikulum yang merangkap sebagai guru piket hari itu. “Setelahnya, bantuin Pak Jono bersihin toilet sekolah sampe jam istirahat pertama selesai.”
Elvan masih menatap Pak Rahmat dengan ekspresi datarnya. Giliran kesalahannya tidak disengaja, kenapa hukumannya membersihkan toilet? Elvan merasa ini tidak adil.
Eh, tapi sebentar. Antar buku absen ke setiap kelas? Radar otak Elvan langsung bekerja keras.
Masuk kelas di jam pelajaran dengan semua siswanya berkumpul, tidakkah itu cara yang sempurna untuk menemukan seseorang? Meski secara perhitungan cara itu masih kurang efisien karena akan menyita waktu dan tenaga.
Namun, tak apalah. Demi Lilac-nya yang sudah sejauh ini ia cari. Demi melihat senyum bulan sabit itu lagi. Demi menyelamatkan hatinya dari kehampaan saat kembali mencandu senyumnya.
Anggap saja ini seperti Dora yang mencari suatu benda di pegunungan dan petanya dihilangkan oleh Swiper, si rubah yang hobinya mengambil barang-barang penting untuk menemukan petunjuk. Anggap saja ia sedang bertualang. Semakin berat tantangannya maka akan semakin indah apa yang akan ia dapatkan nanti.
“Kenapa? Mau nawar? Mau hukumannya sampe jam kedua selesai?” tanya Pak Rahmat sambil melipat tangannya di depan dada.
Bu Andini yang berdiri di sebelahnya terlihat mengulum senyum. Kali ini ia yakin Elvan mati kutu. Mana mau anak itu berlama-lama membersihkan toilet.
“Enggak, Pak.” jawab Elvan sambil menggaruk-garuk lehernya yang tidak gatal.
“Ya udah, sana. Jam pelajaran udah dimulai tuh. Cepet anter absennya.” suruh Pak Rahmat.
“Oke deh, Pak. Bapak emang yang paling ganteng hari ini.” Elvan tersenyum sumringah seolah baru saja mendapat hadiah undian milyaran rupiah. Ia melenggang sambil bersiul-siul senang, membayangkan hari ini ia akan menemukan Lilac-nya.
“Kok malah seneng sih dikasih hukuman bersihin toilet?” keluh Bu Andini kecewa.
“Namanya juga Elvan, Bu Andini. Kalau kelakuannya gak ajaib begitu ya bukan Elvan.” Pak Rahmat pun ikut menggeleng-gelengkan kepalanya keheranan melihat tingkah Elvan.
*****
Tiga kelas lagi absen yang tersisa, termasuk kelasnya sendiri dan dua kelas 12 IPS yang lain. Senyum semakin mengembang di wajah Elvan saat mengetahui gadis itu tidak berada di kelas mana pun dari kelas yang sudah ia kunjungi. Itu artinya hanya tinggal dua kelas lagi. Kelas 12 IPS 1 dan 12 IPS 3. Kelas 12 IPS 2 adalah kelas Elvan dan ia yakin gadis itu tidak ada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Lilac ✓
Teen FictionElvan Gardenia si troublemaker sekolah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang gadis manis bernama Lilacyta Serafina yang pertama kali ia lihat di bawah guguran bunga Lilac. Segala cara Elvan lakukan untuk menarik perhatian cinta pertaman...