Kata-kata ayahnya Lila kemarin kembali terngiang dalam ingatannya. Ditambah lagi dengan kata-kata Rendra padanya saat jam istirahat tadi. Elvan sampai tidak bisa berkonsenterasi di jam pelajaran terakhir. Ia dipanggil ke depan kelas oleh Bu Mita.
"Kamu dengerin penjelasan Ibu, Van?" tanya Bu Mita begitu Elvan tiba di depan kelas.
"Enggak, Bu," jawab Elvan sambil tertunduk.
"Terus, ngapain aja kamu dari tadi?"
"Ngelamun, Bu," jawab Elvan jujur.
"Ngelamun kata kamu? Bisa-bisanya guru lagi nerangin pelajaran, kamu malah ngelamun. Apa yang kamu lamunin?"
"Masa depan saya, Bu."
"Ciye, ciye. Suit, suit," bunyi koor seisi kelas segera membahana. Diiringi oleh gelak tawa mereka.
Elvan hanya memperlihatkan senyum sok jumawanya, layaknya seorang idola yang sedang memberi fan service kepada para penggemar.
"Coba diem dulu semuanya!" teriak Bu Mita. "Coba kita dengerin cerita Elvan tentang masa depannya."
Elvan menggaruk-garuk kepalanya salah tingkah saat semua mata menatap ke arahnya.
"Gak ada yang bisa saya ceritain, Bu," jawab Elvan.
"Ceritain aja, biar lega. Biar plong. Biar kamu gak ngelamun lagi dan dengerin Ibu jelasin pelajaran."
"Janji deh Bu, gak akan ngelamun lagi. Tapi, saya izin mau cuci muka dulu." kilah Elvan agar bisa keluar dari masa sulit itu.
"Ya udah sana. Cuci muka yang bersih. Kepalanya juga sekalian, biar gak ngelamun terus."
Elvan keluar kelas dengan perasaan lega. Sementara ini ia bisa bebas dari ceracauan Bu Mita tentang pelajaran Ekonomi yang itu-itu saja bahasannya. Dalihnya agar kembali ingat materi yang sudah lewat.
Langkah Elvan melambat saat ia tiba di koridor samping kelas Lila. Rasanya sudah lama sekali ia tak mengusiknya, padahal setengah harian ini saja tidak berinteraksi dengan Lila. Ada rindu yang membuncah, tetapi tak tahu bagaimana cara melampiaskannya.
Kata-kata ayahnya Lila dan Rendra masih menghantui pikirannya. Pada akhirnya Elvan memutuskan untuk melewati Lila begitu saja. Ia seperti tidak memiliki keberanian lagi untuk sekedar menatap langsung mata Lila.
Saat Elvan melewatinya begitu saja, bahkan tidak menoleh sedikit pun, Lila menyadarinya. Padahal ia sangat senang akhirnya bisa melihat Elvan lagi. Ada apa ini? Apa Elvan sedang menjauhinya? Apa benar perkataan Selvi kalau Elvan itu memang hobi mempermainkan perasaan orang?
Entah apa yang ada di pikirannya saat tanpa sadar ia mengangkat tangan.
"Ya?" tanya Bu Tini, guru Sejarah mereka.
"Izin ke toilet, Bu," ujarnya dengan jantung berdebar.
Pasalnya, selama jam pelajaran ia jarang sekali yang namanya izin keluar kelas dengan alasan apapun. Anin yang hafal betul kebiasaan Lila bahkan sampai menatapnya keheranan.
"Silakan."
Lila tahu Anin ingin melontarkan pertanyaan, tetapi ia coba mengabaikannya. Dengan sedikit tergesa Lila keluar dari kelas dan berusaha mencari sosok Elvan yang tadi lewat di sebelah kelasnya. Punggungnya hampir saja menghilang di ujung koridor menuju toilet saat Lila menemukannya.
Begitu Lila sampai di depan toilet murid laki-laki, samar-samar ia mendengar Elvan sedang berbicara di telpon dengan nada penuh emosi.
"Jadi, kalian gak mau pulang ke sini? Mau netep di sana? Ya udah! Lupain aja Elvan sama nenek! Anggep kami berdua gak pernah ada!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Lilac ✓
Teen FictionElvan Gardenia si troublemaker sekolah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang gadis manis bernama Lilacyta Serafina yang pertama kali ia lihat di bawah guguran bunga Lilac. Segala cara Elvan lakukan untuk menarik perhatian cinta pertaman...