#13: Konfrontasi

550 118 42
                                    

Elvan duduk sembari meremas kedua tangannya, sementara kepalanya tertunduk tidak berani mendongak. Lila yang duduk di sebelahnya menjadi khawatir dengan perubahan sikap Elvan itu. Ia tahu Elvan pasti masih merasa bersalah atas kelakuannyan pada ayah beberapa tahun silam.

"Temennya gak dikasih minum?" tanya sang ayah membuyarkan konsenterasi Lila memperhatikan Elvan.

Tanpa kata, Lila pergi meninggalkan Elvan hanya berdua dengan sang ayah. Sesekali ia melirik ke arah Elvan yang masih belum merubah posisi wajahnya.

Sepeninggal Lila, ayahnya berdeham untuk sedikit mencairkan suasana. "Kamu Elvan, kan?"

Dalam posisi wajah tertunduk itu, Elvan menggigit bibirnya kelu. Matanya memejam penuh penyesalan. Padahal ia berharap Pak Handoko lupa dengan wajah dan namanya. Nyatanya pria paruh baya itu masih ingat.

"Iya," jawab Elvan lirih.

"Kamu kenapa?" tanya Pak Handoko yang mulai bisa membaca ketakutan Elvan dari sikapnya. Yang ditanya masih diam seribu bahasa.

"Kejadian waktu itu, gak usah terlalu dipikirin. Saya gak dendam kok. Cuma jangan diulangi lagi aja," Pak Handoko tertawa kecil. Membuat Elvan berani mengangkat wajahnya sedikit. Berusaha untuk tersenyum menanggapi.

"Saya minta maaf ya, Pak. Untuk yang waktu itu."

"Kamu kan udah minta maaf dulu, Van. Lupa? Yang kamu nulis kalimat 'tidak akan mengerjai guru lagi' sampai seratus kali?" Pak Handoko terkekeh saat ingat kejadian itu.

Elvan menggaruk dahinya salah tingkah.

"Jadi, kamu sekelas sama Lila?" Pak Handoko mengalihkan topik pembicaraan.

"Enggak, Pak. Beda kelas."

"Oh," Pak Handoko tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tak lama Lila muncul bersama dua cangkir teh hangat. Satu untuk sang ayah dan satunya lagi untuk Elvan. Sejenak obrolan terhenti.

"Diminum, Van," ujar Pak Handoko.

Elvan hanya tersenyum canggung sambil sesekali melirik ke arah Lila yang juga sedang curi pandang ke arahnya.

"Jadi, gimana ceritanya kalian bisa deket padahal gak sekelas?" tanya Pak Handoko lagi.

Refleks Elvan dan Lila langsung saling pandang seolah saling bertanya harus menjawab apa.

"Gara-gara bunga lilac, Pak," jawab Elvan akhirnya.

Lila yang merasa tidak enak hati dengan suasana yang sedang berlangsung, memilih untuk menyingkir ke dapur dan menguping pembicaraan antara Elvan dan ayahnya itu dari sana.

"Kamu suka sama Lila?" tanya Pak Handoko lagi.

Elvan mengerjap lalu menelan ludahnya sendiri, terasa kelu. Apa yang harus ia jawab? Haruskah jujur dan siap menerima segala konsekuensinya? Bukankah ini kesempatan baik untuk mengutarakan niat baiknya mendekati Lila pada sang ayah? Siapa tahu justru Elvan mendapatkan restu yang tak diduga-duga. Mana ia tahu kalau tidak dicoba.

Akhirnya, setelah menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, Elvan bermaksud untuk berkata jujur.

"Iya, Pak. Saya suka Lila. Boleh saya deketin dia, Pak? Saya serius."

Raut wajah Pak Handoko seketika berubah. Yang tadinya lebih banyak tersenyum ramah, kini terdiam tanpa ekspresi. Ia bahkan sampai membenahi letak kacamatanya yang sedikit melorot kemudian menatap Elvan.

Pemuda itu menatap pria paruh baya di hadapannya dengan wajah tegang. Seolah sedang menanti sebuah keputusan terpenting dalam hidupnya.

Pak Handoko tersenyum sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Bapak suka sama keberanian kamu, Van. Tapi, untuk urusan yang satu ini gak cukup cuma dengan keberanian."

[Sudah Terbit] Lilac ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang