#2 : Vanderella

1K 158 48
                                    


Elvan tahu, kini dirinya sedang jadi pusat perhatian orang-orang yang ia lalui. Tidak terkecuali para guru yang kebetulan sedang berada di luar ruangan dan berpapasan dengannya.

“Sepatu kamu disita lagi, Van?” sapa Pak Marwan.

Belum sempat Elvan menjawab, guru Olahraga-nya itu kembali melanjutkan kalimatnya.

“Mungkin kamu kualat sama Bapak, Van. Gara-gara kamu kepala Bapak kena bola ini.”

“Sepatu ilang, Pak. Bukan disita,” koreksi Elvan.

“Mesti kamu pecicilan, makanya bisa ilang.”

“Bukan ilang sih, Pak. Tapi diambil orang, bareng sama hati saya. Udah ya Pak, saya mau cari dulu itu pelakunya,” ujar Elvan seraya berlalu meninggalkan Pak Marwan yang hanya bisa terbengong.

“Bocah aneh!” gumam Pak Marwan lagi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Di koridor dekat ruang BK, Elvan berpapasan dengan Bu Andini yang baru datang dari koperasi sekolah.

“Elvan, Elvan.” Bu Andini menggeleng-gelengkan kepalanya menatap murid ajaibnya itu bertelanjang kaki.

“Kenapa, Bu?” tanya Elvan sambil mengangkat kedua alisnya.

“Sepatunya udah Ibu balikin. Kamu beneran ngelepas sepatu kamu di kelas?” tanya Bu Andini yang teringat akan perkataan Elvan tadi pagi.

“Nanti kalo saya keliling pake sepatu itu, saya kena hukum sama guru BK yang laen, Bu,” jawab Elvan sambil cengengesan.

Ingin rasanya Bu Andini membantah perkataan Elvan itu, memberi tahu anak itu kalau di dalam sekolah harus menggunakan sepatu. Namun, alasan yang dikemukakan Elvan barusan ada benarnya juga. Kalau dirinya memaksa Elvan untuk memakai sepatu itu, kemudian Elvan tertangkap oleh guru BK yang lain, anak itu pasti akan membuat laporan kalau dirinyalah yang menyuruh Elvan memakai sepatu itu. Bu Andini jadi merasa serba salah.

“Udah, ya, Bu. Saya mau cari separuh hidup saya dulu,” ujar Elvan yang langsung pergi, persis seperti yang ia lakukan sebelumnya pada Pak Marwan.

Bu Andini hanya bisa mengembuskan napasnya untuk mengekspresikan rasa gemas-tak-bisa-berkata-apa-apa-nya.

Elvan melanjutkan misi melakukan pencarian jejak sepatunya yang menghilang bersama gadis di bawah pohon lilac itu. Jam istirahat kedua ia pergunakan untuk menjelajahi seluruh sudut sekolah.

Pencariannya dimulai dari pohon lilac. Siapa tahu gadis itu akan kembali ke sana untuk mencari tahu pemilik sepatu yang ia bawa.

Tidak banyak orang yang berlalu lalang di tempat itu. Hanya beberapa siswa yang sebelum jam istirahat menggunakan laboratorium bahasa yang masih tampak berkeliaran di sana.

Elvan menggaruk rambut bagian belakangnya dengan gelisah. Kalau begini ceritanya, sampai tahun depan juga ia tidak akan bisa menemukan gadis itu.

Seandainya saja ia tidak kehilangan jejak gadis itu saat mengejarnya tadi pagi, masalahnya tidak akan serumit ini. Bagaimana kalau sampai pulang sekolah nanti ia masih belum menemukan gadis itu? Apa ia harus pulang telanjang kaki? Sama sekali tidak lucu.

Kepalanya cepat menoleh saat sudut matanya menangkap sekelebatan gadis berambut lurus sebahu baru saja berlalu melewatinya.

“Dapet, nih! Ini pasti dia!” Elvan menjulurkan tangannya dan berhasil menangkap ujung rambut gadis itu.

“Eh, apaan sih narik-narik rambut gue?” pekik gadis yang rambutnya ditarik oleh Elvan itu menceracau.

“Yah, kok elo sih?” Elvan pun keheranan melihat wajah gadis itu yang ternyata teman sekelasnya.

[Sudah Terbit] Lilac ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang