Part 2

103 5 4
                                    

Saat ku buka mataku lemah, aku tahu ini akhir pekan, masih terbaring dengan sesosok yang ku panuti. Kumiringkan badanku ke kanan sambil memeluk guling, kulihat dia masih juga tergeletak lemas dengan selang di hidungnya, ya, itu kehidupannya sekarang. Itu mungkin impianku selama ini, bisa melihatnya di sampingku saat aku terbangun. Tapi...

"nak, bangun, sekolah apa nggak?! Nanti telat." Cakapnya lembut dengan menahan rasa sesak.

Memandangnya dalam tanpa menghiraukan perkataannya membuatku melamun sejenak. "huammm..." pertanda masih belum sanggup tuk beranjak dari tempat tidur. Perlahan kuusahakan duduk, dan lagi-lagi tetap terdiam dan melamun. Dengan selimut yang masih menutupi kaki, aku tarik ke atas hingga tertutup sudah badanku seperti kura-kura dalam tempurung.

Benar, ini akhir pekan. Aku memang malas dan aku tak suka.

"La!" hentaknya keras padaku. Melihat nafasnya tak beraturan, aku beranjak turun dari rajang ke kamar mandi. "iya iya ini aku bangun, tapi ini hari minggu." Jawabku menggumam sambil berlari.

Ini hari minggu, namun lebih baik jika aku belajar di sekolah, bermain dengan teman, mengikuti banyak ekskul, ataupun berbagai macam belajar privat. Tapi sayangnya aku harus memenuhi kewajibanku, merawat bibi.

"La, ibu nggk mau nasi jagung. Kok nasinya kasar La?!. Ayo antarkan ibu ke kamar mandi. Besarkan volume oksigennya La. La, coba cek kadar gula darah ibu naik apa turun. Ambilkan obat untuk siang ini La. Siapkan baju, ibu mau mandi. Masakkan masakan santan La, sekali aja, ibu bosen." Dan lain sebagainya. Dia sekarang sudah tak lagi bisa beraktivitas sendiri. Untungnya aku bisa memasak (belajar dari dia waktu dulu ikut bantu-bantu memasak), bisa kalo sekedar mengecek kadar gula, kadar kolesterol, kadar asam urat, maupun cek tensi darah. Ya, itu keahlianku juga karena tuntutan mendesak (harus bisa). Itulah keseharianku dengannya.

Kasihan bibi. Anaknya tak lagi punya istri dan dia belum punya cucu. Seorang ibu pasti berat merasakan hal itu.

Edo namanya.

Dia anak semata wayang bibi (walaupun aku sudah dianggapnya sebagai anak)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dia anak semata wayang bibi (walaupun aku sudah dianggapnya sebagai anak). Dia memang "nakal", jika anak sekolah menengah sepertiku menyebutnya. Terkadang ku temukan botol minuman keras di rumah.

Ada satu hal yang mengganjal, itu saat aku ikut dia ke rumah temannya.

"siapa dia? Kau main lagi?" kata seorang teman kak Edo

Lalu dia menjawab "halah, sudahlah, dia adikku".

Banyak pertanyaan bergelut di batinku karena hal itu.

Mungkin bukan "nakal" lagi yang para orang dewasa sebut untuknya. Sudah 2 kali ini memang ketahuan mendua dan akhirnya benar-benar diceraikan.

Hidupku pun tak lekang dari bayang-bayang pertengkaran kak Edo dengan kak Elisa. Yang kemudian menjadi pertengkaran keluarga, antara kak Edo dengan bibi. Masaku berubah, menjadi penuh awan kelam.

Kasihan bibi. Keluarganya tak lagi dipandang harum bak semerbak bunga mawar.

Bibi pernah berpesan "kau main-main ke pondok pesantren nak biar diberi pencerahan oleh ustadz".

Dia masih menerima dengan keadaan anaknya, yang barangkali sangat mengecewakannya. Dia pula yang berusaha menenangkan kak Edo, karena bagaimanapun juga jika diceraikan istri pasti dalam suasana hati yang tidak tenang.

Bibi hanyalah bibi yang ku kenal, dia juga masih seorang ibu.


Banyak syukurku karena masih bisa meneruskan karya ini.

Terimakasih temen-temen yang mau meluangkan banyak waktu buat baca karya sebelumnya dan yang ini pula.

Banyak semangatku oleh karena itu semua.

Semoga part ini memunculkan gejolak baru yang membuatnya menarik.

Tak luput pasti masih banyak hal-hal yang mengganjal di dalamnya, tapi... apalah dayaku, heheee

Jangan lupa vote dan commentnya yaaa

Harapku, banyak yang menunggu karya selanjutnya...

Terimakasihhhh

"Inilah Kehidupan"Where stories live. Discover now