Part 7

12 1 0
                                    

            Yah... memang benar, lala telah genap berumur 18 tahun. Tak disangka, si gadis remaja malang itu telah menapaki tangga menuju pendewasaannya, genap satu minggu pula dia berada jauh dari jangkauan kenangan di rumah megah itu. Harusnya, dia merasa bahagia, bebas, dan mencoba menjalani kehidupan baru serta membangun "diri"-nya kembali. Namun, entah bagaimana kehidupan ini akan dia jalani, semoga saja pada arah kebenaran, pun jika akan memperburuk hidupnya, semoga dia menemukan orang yang akan membimbing dan mendukungnya dalam hidup. "Semoga"


Aku? Aku masih sama dengan seminggu yang lalu sebelum aku ada di kota ini. Bahkan, hari ini aku merasakan hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku genap 18 tahun, umurku dikategorikan sebagai umur yang seharusnya dewasa, namun aku jauh dari rumah, di antah berantah ini... ya kalian tahu aku merasa sendiri, perlu penyesuaian lagi dan lagi bagiku untuk mengenali segala sesuatunya di sekitarku saai ini. Aku merasa senang karena mendapat kejutan dari kakak kandungku yang mengirimi kue ulang tahun lewat temannya, namun di balik itu tak ada yang menyanyikan lagu ulang tahun atau pun sekedar menemaniku makan kue ini. Terlampau senang, sedih, dan rindu menjadi satu kesatuan sekarang ini. Entah rasa apa ini.


Aku tahu, seharusnya aku segera mencari teman dekat, berkenalan atau sok asik ke semua orang agar semua tertarik untuk berteman dan menjadi sahabatku. Namun aku bukan seperti itu. Aku memang ingin punya banyak sahabat (karena aku tahu jauh dari rumah itu yang penting ada teman kita akan bisa hidup atau minimal sekedar tempat untuk bercerita) bahkan itu telah menjadi list di dalam note kecilku. Tetapi, rasaku terlampau berlebihan terhadap semua orang.


Tak aku sadari, aku menjadi seseorang yang melihat orang lain penuh dengan kecurigaan, apakah ini karena aku masih terbayang dengan kelamnya masa laluku? Ah lupakah itu dulu, posisi saat itu begitu membuatku tak tenang ketika membayangkannya kembali. Rasa ketidakpercayaanku kepada orang lain membuatku sangat sulit untuk sekedar saling bertukar kata dengan teman kelasku saja, itu pun terjadi pada lingkungan kosku. Aku tahu sekarang, aku baru tahu di rantauan ini bahwa aku bukan orang yang terbuka, bahkan aku mengunci rapat-rapat mulutku untuk sekedar bercengkrama apalagi mau bertukar kisah dengan mereka. Aku lebih senang mendengar cerita mereka tatkala mereka ingin aku mendengarkannya, namun aku seraya bingung mau membicarakan apa tatkala mereka menanyakan kisahku seperti apa. Menurutku, kisah mereka begitu penting untuk aku dengar karena akan membuatku melupakan kesenduan hidupku yang tak berujung itu atau bahkan memberiku sedikit pelajaran berarti untuk alasan melanjutkan hidupku, namun kisahku tak akan penting bagi mereka karena hanya akan membuat mereka mengasihaniku dan menjadikannya sebagai alasan untuk berteman denganku, ataukah mereka malah acuh dengan ceritaku yang biasa-biasa saja karena semua orang memang mengalaminya, sehingga aku menyimpulkan untuk tidak menceritakannya karena menurutku "memang beginilah hidup, kita harus jalani".


Sampai akhirnya, aku bertemu dengan teman lamaku di jenjang sekolah menengan pertama dulu. Seingatku, aku belum pernah bercengkrama dengannya waktu itu, namun untuk sekedar bertemu dalam satu pandangan itu pernah, walau hanya beberapa detik yang tak berarti. Cengkrama singkat dengannya membuatku mau sedikit membuka diri dengan "dunia". Dia membuka awal dari perjalananku di kehidupan yang belum pernah aku kenal ini, dia membuatku sedikit tahu bagaimana cara memperlakukan seseorang ketika ia benar-benar ingin berbincang denganmu. Aku tak tahu akan sedalam apa pertemananku ini berlanjut, namun Tuhan pasti tahu aku.

"Inilah Kehidupan"Where stories live. Discover now