Part 8

15 1 0
                                    

Itulah lala. Kasihan dia. Malang sekali hidupnya. Masa remaja, dia habiskan untuk mengurus "rumah mewah nan megah" itu. Katakan saja, dia tidak memiliki teman. Ya, sebenarnya dia tidak memiliki teman. Temannya hanya sekedar teman biasa. Bertegur sapa di sekolah, sehabisnya tinggallah dia sendiri tanpa arti. Dia tidak punya waktu bertemu atau sekedar berhubungan di dunia maya, ya, sekali lagi, dia memang tidak punya teman. Oleh karenanya, kehidupan sosial lala sedikit terganggu. Dia merasa asing dengan dunia di luar lingkungan rumah, sekolah, ataupun organisasinya. Dia belum pernah melangkah ke realita dunia yang penuh dengan sesak. Lala tidak menginjakkan kaki ke luar sana pun sudah penuh dengan sesak (sudah bisa dibayangkan bagaimana kehidupannya nanti). Dia tidak punya cukup keberanian untuk itu.


Pagi ini, dengan kebiasaan yang kubiasakan di lingkungan baru ini, masih belum ada makna yang berarti. Aku buka mata dan menjalani aktivitasku layaknya yang dilakukan mahasiswa lain. Aku lala, dan masih seperti lala yang dulu hidup di rumah itu. Kesendirian di tanah rantau, menambah tumpukan sampah yang menjadikanku sedih dan sendu yang tak kunjung berlalu.


Aku ingat saat-saat pilihanku untuk menapaki jalan yang sejauh-jauhnya dari rumah itu. Aku tahu itu ego anak remaja yang tak terbendung dan mengesampingkan apapun yang sebenarnya menjadi tuntutan baginya. Inginku saat itu memang hanya ingin pergi kemanapun itu tanpa tau lagi bau masam, manis, atau busuk yang ada di rumah itu. Aku ingin menjauh sejauh-jauhnya. Dan ternyata, pikirku memang kalut kala itu, bodohnya remaja itu dalam memutuskan sesuatu. Namun terlepas dari itu semua, Tuhan memang mendukungku dan menghendakiku untuk melakukan keinginan egoisku itu. Tak banyak pengorbanan yang berarti untuk aku bisa di tanah rantau ini. Hanya dengan memohon doa orang tua dan berkat dari Tuhan.


Aku pun ingat betapa menggilanya aku ketika memang sudah ada jalan lurus untuk segera melangkah pergi semakin menjauh. Rasa bimbang yang kala itu sedang berkecamuk di dalam jiwa. Bagai memperoleh setumpuk emas, namun dilenyapkan seketika dengan alat peluluhlantakan logam. Betapa lemasnya ragaku. Baik, akan aku ceritakan perlahan. Jika kau diberikan pilihan saat ini juga antara hidup dan mati, apa akan mungkin kau pilih? Itulah rasa yang menggerutu diriku. Aku diberi pilihan untuk tetap tinggal dengan anak dan suami bibi atau pergi kembali ke rumah orang tua. Jika aku tetap bersama kak edo, istrinya, dan suami bibi, mungkinkah mereka mau menerima dan tetap membiayai hidupku? Apabila kembali ke orang tua, mereka sudah pasti akan membiayai aku. Bagiku itu pilihan yang begitu berat. Tidak akan sanggup jika aku dihadapkan dengan itu kembali. Pilihan? Aku menghargai bibi dengan segala kekuatannya untuk merawatku dulu. Bukan menghindar dan tak mau berkumpul dengan keluarga, hanya saja aku mungkin tidak akan terbiasa dengan kehidupanku yang berubah karena hidup dengan "orang" yang berbeda.


Cukup di sini. Kesendirian, sendu, dan masa lalu cukup membuatku kompleks di tanah rantau ini.


Tak seperti biasa, kali ini suara dari hpku berbunyi. Kulihat dengan seksama ada pesan. "la, kapan kita meet up?" dan percakapan itu berlanjut hingga berminggu-minggu namun tak kunjung aku bertemu dengannya, setelah sekian lama waktu kita masih di jenjang sekolah menengah pertama. Aku nyaman dengannya ketika berbicara di dunia maya, namun tak bisa kubayangkan jika aku dengannya bertemu dan saling berbincang bersama, akankah sama? Pikiran itu bagaikan hantu yang mengusikku.


Begitu mengasikkannya diriku dan dirinya hingga aku tak mampu menahan egoku untuk tetap tak menemuinya. Kasihan dengannya ketika berkali-kali mengajakku untuk bertemu namun tak aku hiraukan, beribu alasan yang aku utarakan dan dia meng-iya-kan.


Mungkin ini saatnya.


Katanya, "tempat mana yang pas?". Pikirku, kenapa begitu repot hingga perlu menyiapkan hal-hal yang tak masuk akan seperti itu. Aku mungkin terlampau cuek dan tak mau tahu, tapi bukan tidak menahu motivasinya yang terus-menerus menghubungiku, dan kau pasti tahu. Namun di balik itu, bibir tak bisa menahan tuk memperlihatkan senyumnya, mata menjadi lebih sipit karenanya, dan pipi pun memerah.


Dia cukup membuat awal perjalananku di rantauan menjadi sedikit berarti, walau aku memperlakukannya seperti itu. Mungkin aku akan terus mengenangnya.

"Inilah Kehidupan"Where stories live. Discover now