Waktu berganti, di jenjang menengah atas ini, membuatku semakin jauh dari bayangan rumah dan lagi-lagi aku selalu lebih senang di sekolah. Kuhabiskan setengah hidupku di sekolah, kuhabiskan dengan berbagai aktivitas di sekolah. Ya, memang ku sengajakan seperti itu. Mulai pagi-pagi aku berangkat, hingga petang masih malas untuk beranjak pulang.
Sempat terjadi percek-cokan antara aku dengan bibi, kala itu dilema dengan pilihan sekolah menengah atasku ini. Aku sudah diterima di kota, namun bibi mengancamku, tak akan membiayai sekolahku jika aku melanjutkannya. Dan akhirnya aku putuskan, memilih sekolahku yang sekarang, yang tak teramat jauh dari rumah. Walau begitu, aku masih lala anak SMA, paras tak cantik hatinya pun tak baik, bandelnya tak ketulungan. Namun, aku hanyalah aku, lala, lemah, hanya aku yang tahu.
Sepulangku, kabar tak baik datang, tapi itu sudah biasa. Bibiku opname di rumah sakit. Sudah biasa keluar masuk rumah sakit, buatku itu bukan kabar tak baik lagi. Hehe, jahatkah aku? Memang begitu nyatanya. Ya, itu diriku.
Sudah sebulan ini opname hingga 2 kali. Dan ini lagi. Sesak yang membuatnya tak tahan.
"aku berangkat. Assalamualaikum..." ku jabat tangannya yang lemas, matanya masih terpejam, dan alat yang dimasukkan ke tenggorokan membantunya bernafas.
Kasihan bibi, tapi aku lelah.
"waalaikumsalam" jawab suaminya.
Ku tutup pintu kamar dan berangkat. Jalanku terasa tak nyaman, banyak pandangan yang dipusatkan padaku, mungkin orang sekelilingku memandang dengan herannya "kenapa anak sekolah di rumah sakit pagi-pagi buta".
Benar, jalanku ke sekolah kini kian jauh. Menempuh puluhan kilo itu tak mudah, aku benar-benar lelah, merasa muak.
"tumben sudah datang La." Tegur sapa pak satpam kepadaku.
"iya pak, dari Genteng." Balasku kepadanya. Genteng adalah nama wilayah di daerahku, tempat dimana rumah sakit yang bibi tempati. Dia satpam di sekolahku, bapak yang ramah dan perhatian. Aku memang biasa berangkat paling akhir dan tak jarang kena sanksi karena datang terlambat, hingga bersih-bersih seluruh kawasan sekolahpun pernah. Semua itu hanya karena jarak rumah ke sekolah memang cukup jauh dan bibi tak mengijinkanku mencari tempat kos. Sebenarnya temen-temen yang lain juga jauh jaraknya ke sekolah, tapi...
Ya... beginilah Lala dengan berbagai kelemahan dan segala keributan yang di lakukan.
Hari berlalu senja pun datang, sengaja ku tak habiskan di sekolah. Aku harus pergi lagi menjenguk bibi ke rumah sakit. Janjiku kepada ibu dan ayah untuk berangkat bersama. Kali ini aku hanya ingin menjenguk, bukan menemaninya dan menginap di rumah sakit. Memang terasa lelah tubuhku. Entah apalah itu, aku benar-benar tak mau, dan bersikeras tak ingin menginap. Aku hanya ingin tidur di rumah orang tuaku. Meletakkan badan di atas tempat tidur tanpa ada yang mengganggu pasti terasa enak. Pikiran konyol itu terus berakar padaku.
Pertanyaannya, siapa yang mengganggu? Ya, pasti kalian tahu itu.
Betapa bodohnya aku kala itu.
Bibiku yang mulai bisa berbicara lagi (karena sebelum itu tenggorokannya diberi alat agar mempermudahnya bernafas) dan masih dengan selang oksigen di hidungnya "jangan pulang La, menginap saja disini" katanya lemah.
Dia terus menggumamkan itu. Akhirnya aku menghiburnya dengan tidak beranjak dulu, menunggunya hingga terlelap. Namun, sebelum itu terjadi, dia malah meminta pulang. "aku pengen pulang, pokoknya aku pengen pulang." Ujarnya keras dengan nafas tak beraturan, dia seperti kembali menjadi anak-anak. Sempat sudah diurus surat menyuratnya agar bisa pulang detik itu juga, namun akhirnya dokter memberi pengertian halus kepada bibi agar tetap tinggal di rumah sakit.
Setelah tidurnya lelap, aku dan orang tuaku pun beranjak pulang.
Tidurku begitu pulas, kuawali pagi dan berangkat sudah berbekal nasi dari ayah. Memang, aku dan ayahku lebih intim terasa, daripada aku dengan ibuku. Aku suka ayahku yang penuh canda namun tegas dan bijaksana.
Aku lebih senang hidup dengan mereka, dengan segala keharmonisan yang ada, walau tak semua keinginanku ada. Realitanya, aku tak bisa serumah, bibi teramat sayang kepadaku sehingga tak mengizinkanku kembali pulang, dalam dekapan orang tua. Jikalau itu terjadi, aku pun tak kan sanggup meninggalkan mereka, mereka yang telah melakukan segalanya demi aku, aku yang bukan keluarganya. Aku sayang mereka semua.
"ya, aku nanti mau langsung ke Genteng." Ujarku
"loh. Bibimu masuk rumah sakit lagi?" tanyanya balik kepadaku. Namanya Dia, teman dekat yang paling mengerti aku.
"iya, tapi kok sepertinya panas terik ya hari ini. Aku pikir-pikir lagi deh." Jawabku kepadanya.
Aku sangat ingin pulang sekolah langsung ke rumah sakit, entah apa yang membuatku seperti itu, mungkin merasa bersalah dengan bibi. Banyak pertimbanganku, hingga ku putuskan di tengah perjalanan aku belokkan sepeda untuk pulang ke rumah dulu, menunggu kak Edo pulang kerja supaya bisa berangkat bersama. Namun...
Banyak sepeda motor terlihat olehku diparkir di depan teras-teras rumah tetanggaku.
Bingungku mulai menggebu. "kok tumben rame benar" batinku. Namun tak seorangpun terlihat ada di sana.
Perlahan kupelankan sepedaku dan mencoba melihat ke sekeliling. Aku berhenti di pinggir jalan, tepat di depan rumah yang banyak kerumunan orang. Aku takut tuk mengarahkan sepeda ke sana, aku takut jika aku akhirnya tahu, aku takut dengan segala yang nanti akan aku lihat, aku takut jika terjadi apa yang tak kuinginkan, aku tak mau mendekat ke sana.
Entah kenapa aku takut dan tak mau mendekat. Seharusnya aku segera mendekat dan mencari tahu apa yang terjadi, namun aku terdiam sambil melihatnya dari kejauhan.
Pandangan kosongku tetap mengarah ke sana. Aku benar-benar tak tahu, aku tak mau tahu.
Alhamdulillah bisa melanjutkan part ini.
Butuh keberanian besar buat author sehingga bisa meluapkan rasa Lala saat itu.
Maaf kalau tidak ada rasa mendalam di dalamnya.
Jika memang tak mencapainya, biar hanya author yang tahu saat di posisi Lala.
Hehe, jadi baper.
Pokoknya beribu banyak terimakasih yang ingin author ucapkan untuk para pembaca setia, karena author tahu banyak yang lebih memilih cerita bahagia dibandingkan sendu.
Jangan lupa vote dan commentnya yaaa
Keep smile and Terimakasihhh

YOU ARE READING
"Inilah Kehidupan"
Historia CortaNamanya Lala. Anak lemah yang hidup di keluarga megah. Megah, itu pandangan orang. Ditimangnya dia oleh keluarga bak permata. Itu dulu. Semakin berlalunya waktu, semakin berbeda pula sosok Lala. Lala yang pendiam, Lala yang penyendiri, Lala yang ta...