Part 9

14 1 1
                                    

Lala. Lala telah beranjak dewasa, perlahan menapaki kehidupan nyata hingga menemukan teman yang diharapkannya selalu ada, ya.. hanya dalam harapan.

Namanya Hito. Lala dan Hito, terdengar berlawanan, memang. Benar, Hito teman lama Lala waktu jenjang sekolah menengah pertama. Bertahun-tahun tidak ketemu dan kala itu pun tidak seakrab yang dibayangkan bisa dikatakan sebagai "teman". Terakhir bercengkrama ketika mereka mengikuti olimpiade di salah satu sekolah menengah atas negeri.

Pertama kali ada pesan dari sesama teman dari tanah kelahiran yang sama, Lala merasa sangat gembira, bahkan ketemu di jalan dengan seseorang yang mengendarai sepeda motor dengan plat nomor yang sama, dia juga sangat antusias menjalani kehidupan rantaunya. Hito alasan Lala pertama yang bisa membuatnya merasa ditemani di tanah rantau ini.


Yaahhh ada enak nggak enaknya sih menemukan teman lama lagi. Tapi mau gimana lagi, dianya ngotot mau ketemu, padahal aku masih ragu. Hehe.. ragu-ragu nanti bakal nggak seakrab di media sosial, ragu karena bakal membuatnya kecewa akan ekspektasi tingginya, ragu dia bakal nggak mau ketemu lagi, ragu nantinya bakal kehilangan teman. Ah, kenapa dulu aku accept ya..

Aku memberinya alamat kosku. Janjinya sih mau ketemu setelah kuliah selesai, tapi aku selesainya sore banget, jadi dia putuskan menjemputku sehabis maghrib. Waktu itu aku sudah banyak akrab sama temen-temen kos, dan karena begitu jarangnya aku keluar malam tanpa mereka, lalu begitu berisiknya menanyai aku kenapa kok berdandan dengan rapinya. Sampai saatnya Hito datang dan aku berpamitan mau keluar sebentar, mereka langsung saja menggoda aku dengan berbagai candaan yang dibuat dan tentunya membuat pipiku memerah karena merasa malu. Cie cie... begitu terus, sampai dilihatin dari balkon dan ada yang nyeletuk "nitip Lala ya mas". Duh, apaan coba.

Beranjak menaiki sepedanya dengan posisi duduk menyamping, kita mulai melakukan perbincangan kecil. Hingga pada suatu waktu di traffic light yang sedang berwarna merah, Hito menanyakan IP ku semester awal yang lalu. Ya, benar sekali aku masih mahasiswa semester 2, hehe maba bukan bocil lo ya. Entah kenapa, aku bersikeras nggak memberitahukannya berapa dan hanya berputar-putar hingga mengatakan "pokoknya ya lumayan lah, disyukuri saja", kemudian menanyakan hal yang sama kepadanya. Suasana terlihat sedikit tegang, Hito terlihat kesal. Batinku mengatakan, "kenapa gitu sih La". Menyesal atas perbuatanku, namun sudah terlanjur basah, ya sudah.

Hito nggak menjawab pertanyaanku tadi, langsung saja melaju ketika warna traffic light telah berubah hijau. Dari arah kos ku, dia tetap lurus saja, aku nggak pernah melewati arah jalan ini. Hingga aku bertanya sebenarnya dia mau membawaku kemana. Pikirku sebelumnya, kita akan makan malam di tempat makan biasa, karena aku pun telah mengatakan bahwa banyak tugas dan mau langsung melanjutkan mengerjakan setelah kita bertemu, namun Hito menjawab bahwa kita mau ke salah satu cafe yang sedang booming saat ini. Merasa tidak pantas dan canggung pasti, karena aku belum pernah sekali pun ke tempat seperti itu tanpa keluarga, dan ini malah dengan teman lama yang masih canggung tatkala menatap mata.

Malam kelam tanpa bintang, malah rintik hujan yang perlahan jatuh menemani perjalanan kita. Harusnya syahdu sih... ketika seorang cewek dan cowok yang berboncengan di bawah langit malam yang ditemani rintiknya hujan. Haha apalah daya ku, aku panik dengan berbagai celotehan yang kuarahkan kepada Hito. Mulai dari "apa nggak seharusnya kita berteduh dulu ya.." "ayo minggir dulu To" "kamu bawa mantel nggak?" "mantelmu yang bisa buat berdua nggak?" "ayo ayo rada cepat To", hingga semua kegaduhan di dalam hatiku yang menghawatirkan bakal basah kuyup bajuku, krudungku bakal lepek, bakal kelihatan kayak tikus abis masuk got pasti.

Hujan tak lagi menampakkan batang hidungnya, namun seakan ada aja rintangan yang seakan tidak menganjurkan kita bercengkrama di cafe nan mewah itu. Ternyata Hito lupa jalannya. Kita kesasar, Hito menyuruhku buka maps, aku pun salah membacanya. Ah dasar aku, kenapa kegoblokanku muncul di saat-saat genting seperti itu. Eh, nggak genting sih, biasa aja. Akhirnya Hito balik arah lagi dan menemukan jalan yang benar tanpa bantuanku lagi, payah La.

Sepeda Hito diparkir, aku menyerahkan helmku kepadanya dan bergegas kea rah teras cafe untuk berteduh, hujan semakin deras saat kita masuk. Aku yang nggak pernah memasuki tempat seindah ini dengan area perbukitan yang dingin, lampu kuning yang membuatnya romantis, hingga pemandangan lampu-lampu kota yang dilihat dari atas area cafe ini, membuat aku rada bego dengan segala keheranannya. Pasalnya nggak pernah secantik ini cafe-cafe yang aku kunjungi dengan keluarga. Hito, you got it, kamu membuat hatiku seperti rasa eskrim ketika di mulutku "melt in my mouth".

Hito jalan masuk duluan, kelihatan kalo sering kesini, dengan kata-kata yang diucapkan "kita ke atas aja ya". Dia yang milih tempat duduknya, tempat duduk yang ada di paling pojok ruangan, sepi dari orang-orang. Padahal kan aku penggennya di tempat yang paling pinggir, jadinya kan bisa lihat pemandangan kota dari atas dengan puas, nggak kehalang orang gini. Tapi yaudah lah ya. Aku duduk duluan, biar tetep bisa melihat pemandangan, Hito memilih duduk tepat di hadapanku, ah jadi nggak enak kan kehalang lagi. Aku membuat diriku sibuk dengan aku sendiri, mulai dari menata tas agar presisi di tempatnya, mengecek isi tas, sampai mengeluarkan handphone dan memaikannnya di depan Hito. Dia menatapku (dengan kedua tangan di atas meja yang digenggam erat seakan menanti kepastian). 3 detik terasa lama ketika mata kita kemudian dipertemukan dalam keheningan.




to be continued...

"Inilah Kehidupan"Where stories live. Discover now