Part 10

12 0 0
                                    

Hito menatapku, aku pun juga. Tanpa sadar dengan bertanya-tanya kenapa dia, namun setiap detik berlalu aku sadar kalau aku begitu tidak peka. Hito menatapku dalam seakan meraba seluruh raut wajahku, mencari-cari celah raut muka ku yang memang tampak seperti sawo kematangan, dan berhasil memunculkan kekalutan dalam hatiku, hingga aku tak sanggup lagi memandangnya lama. Mata aku alihkan setelah 3 detik memandangi bola matanya yang gak sedetikpun mengerjap. Mungkin aku terlihat bodoh saat itu, salah tingkah iya. Pandanganku tak karuan mau melakukan apa, mau memulai perbincangan apa, hanya saja tanganku dengan sigapnya memainkan handphone kembali, mengecek seisi media sosial yang ku punya seakan memang sibuk ada suatu keperluan.

"La" Hito seperti akan memulai percakapan, namun panggilan itu, panggilan itu begitu asing dan menggelitikku. Kalau saja dia tau, dalam hatiku tersenyum-senyum mendengar dia memanggilku seperti itu. Aku melihatnya seakan menjawab panggilannya, Hito tidak lekas mengatakan apa yang ingin dia katakan, hingga mataku telah berkedip berkali-kali pertanda setiap detik telah berlalu. "La" dia mengulanginya. "apa! dari tadi ditungguin mau ngomong apa, malah..", "sabar.. mau pesen apa?" ternyata Hito hanya menanyaiku pesanan, padahal rasa penasaranku lebih menggeliat dari sekedar itu. Aku mengatakan padanya kalau mau minum saja, aku bilang pesan kopi saja, namun Hito terheran "beneran kamu kopi hitam?". Pandanganku dalam kepadanya, dia benar-benar tidak percaya aku yang akan pesan kopi hitam, alis dan keningnya terlihat terangkat dan begitu lucu ekspresinya. Aku pikir kenapa dia sampai seheran itu, suasana malam yang begitu dingin ditambah hujan yang membasahi dedaunan di bukit membuat aku ingin meminum minuman yang bernuansa hangat. Aku bilang saja kepadanya "aku nggak minum es to". Memang, sebenarnya aku sangat rentan dengn flu, sedikit saja aku meminum minuman dingin, maka tidak terelakkan lagi kalau hari esok pasti virus-virus penyebab flu itu akan menyerangku. Tapi itu semua gak perlu aku jelaskan kepada Hito, pikirku apa perlunya. Setelah aku berbicara seperti itu kepadanya, Hito tetap saja menapatku dengan raut yang terheran itu, langsung saja aku bilang kepadanya "yaudah cappucino aja", yang aku tau itu minuman kopi yang dipadukan dengan susu, lumayanlah kata-kataku itu bisa membuat Hito langsung mengganti raut wajahnya dan langsung bergegas memanggilkan pelayan untuk datang.

Aku memang sengaja nggak pesan makanan berat sekalian untuk makan malamku, maklum anak rantau sepertiku mending uangnya dibuat makan di warteg daripada di cafe yang bisa menguras uang saku, kalau pun Hito mau membayar, kasihan dia juga belum kerja. Malam itu kali pertamaku keluar tanpa teman-teman yang aku kenal bahkan keluarga. Hito memang temanku, namun hanya sebatas teman jauh saja yang nggak ada angin tapi ada hujan tau-tau udah gede baru akrab. Malam itu kami terus berbincang, mulai dari perbincangan masa-masa sekolah menengah yang dulu kita lalui tapi tidak bersama, menggunjingkan teman yang dulu berkelakuan aneh, hingga membahas tentang mantannya yang juga temanku. Eh kok kayak judul sinetron ya, ehehe. Malam itu, aku yang cuek bebek, aku yang ngegas kalo nggak sesuai sama keinginan, aku yang nggak mau membuka diri dengan segala cerita dalam kehidupanku, sadar bukan orang yang peka dengan lingkungan, bukan orang yang bisa begitu saja hanyut dalam keadaan, namun yang namanya perempuan pasti mau dimengerti. Aku selalu menjawab seluruh pertanyaannya dengan nada yang apa adanya aku, mungkin membuatnya kesal, namun Hito terlihat seperti pengertian, mengimbangi, dan seakan benar-benar bisa menjadi pelengkap oleh diriku yang tidak bisa berlaku layaknya perempuan lemah lembut, yang mungkin seperti harapannya.



Pertemuan Lala dan Hito hanya sebatas itu, mereka pulang. Alih-alih mengantarkan Lala pulang ke kos, Hito mempertegas alasan karena ada janji main basket dengan teman-temannya. Ya, tidak berlangsung lama, sekilas dan hanya sebatas itu. Lala dan Hito tak menunjukkan batang hidungnya lagi.

Kecuali pada suatu waktu yang mendewasakan mereka di kota rantau itu, Lala menyusuri gang-gang kecil di sudut kota, jalan kaki dan ransel kecil dipeganginya tali pengait itu, melihat sekeliling menikmati kesendirian dan kesunyian di tengah hiruk pikuk kota, mendalami setiap rasanya. Pepohonan rindang tak kalah menarik dengan buahnya yang belum begitu matang diantara rumah-rumah warga, namun sepasang laki perempuan duduk di teras rumah, semakin dekat semakin jelas dan tak percaya. Hito.


Wah terimakasih banyak yang mungkin tak cukup aku ucapkan kepada pembaca apabila konsisten mengikuti jalan cerita Lala, dan mohon maaf sekali jika benar penulis tidak konsisten dalam menulis cerita, baik dalam jangka waktu ataupun tata bahasa yang semakin buruk, penulis hanya ingin membagi kisah Lala yang mungkin memang tidak berarti namun barang kali di lain waktu akan menjadi memori tersendiri yang pernah dilakukan sepanjang perjalanan hidup penulis... sekali lagi terimakasih banyak semuanya, salam sehat dan happy new year 2021 :)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 31, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

"Inilah Kehidupan"Where stories live. Discover now