Jauh sebelum aku mengenal kopi, ia terlebih dahulu mengambil seluruh hatiku. Ya, Rain, si hujan yang tak pernah berhenti, selalu membasahi hatiku dengan bulir lembutnya.
Gadis muda itu tersenyum, lebih indah dari bunga yang sekarang mekar di samping jalan berdebu.
Ya, Kami bertemu di persimpangan, beruntungnya. Saat itu aku duduk di salah satu bangku pinggir jalan dan bingung mau apa. Dia datang menghampiri, membawakan segelas kopi instan yang aromanya meresap kedalam penciumanku.
Aku sempat berpikir, kenapa? Wajah manisnya mau menawarkanku segelas kopi yang mungkin tidak bisa membeli karena kebutuhanku lebih penting dari segelas minuman panas.
"Hujan baru saja reda, kamu mungkin kedinginan sekarang," katanya waktu itu. Aku langsung menerima, tapi wajahku memanas tatkala tangan kami bersentuhan pelan. Ia tersenyum manis, seperti mengalihkan duniaku.
"Apa ini gratis?" tanyaku saat itu.
"Tentu saja, dan kamu adalah pelanggan pertamaku." Ia bahagia tak ketulungan.Aku sempat kaget, tapi itu tidak lama. "Wah ... hebat, kamu buat sendiri?"
"Entahlah, aku membuatnya dengan ... cinta."
"Cinta? Aku tidak mengerti."
Maaf, saat itu aku berbohong, karena kupikir ia bercanda soal cinta dan aku tidak terlalu memikirkan itu.
"Hey, jangan geer dulu, "ujarnya sambil menggeleng, "cinta maksudku itu, dukungan dari keluarga, bukan, ya ... kamu tahu lah."
Aku terkikik, mendengar kata-katanya, tentu saja itu membuatku senang.
"Aku mengerti," jawabku.
"Syukurlah." Ia mengelus dada.
Aku memandangnya. Dadaku mendesir, Ya, kurasa saat ini aku mengerti. Cinta bisa datang dari mana saja, bahkan dari segelas kopi sekalipun.
Apa yang bisa kulakukan selain tersenyum? Tidak ada, mungkin Tuhan benar, Malaikatnya telah turun kemudian memberikanku hadiah yang tidak bisa aku lupakan sampai saat ini. Begitulah pertemuanku, begitulah kita ....
***
"Bertahanlah sayang, sedikit lagi!"
"Aku tidak ... kuat!"
Rasanya itulah yang dikatakan isteriku Rain, sebelum mengembuskan napas terakhir. Matanya menatap sayu kedua manik hitamku, seperti isyarat ambigu, berkaca-kaca, bahkan hatiku sempat menangis melihat senyum lemahnya.
Sesaat setelah isteriku ingin melahirkan, sebuah truck besar memotong jalan kami. Tabrakan pun tidak bisa dielakkan. Di belokan sana, mobil kami menabrak pembatas jalan kemudian terguling dan jatuh.
Pikiranku seperti terbang entah ke mana, saat itu yang ada hanya mimpi. Mimpi terlalu suram untuk diingat. Ketika bangun, aku harus menerima kenyataan termasuk perginya orang terkasih, Rain. Malaikat tanpa sayap.
Waktu seakan berhenti. Berhenti karena takdir, dan aku tidak bisa mengubahnya begitu saja.
Malam itu akan kuingat sebagai malam yang terburuk selama hidupku.
***
Mereka berbaris. Kerumunan anak muda berkumpul di depanku. Mereka menagih cerita dari seorang pria paruh baya yang berhasil menemukan resep baru kopi.
"Cerita dong pak, gimana sih awal bisa ketemu resep kopi enak gini," kata gadis muda ini.
Aku mengambil napas, kemudian membuangnya perlahan.
Para pemuda dan pemudi, mereka seperti antusias ingin mendengar semuanya. Ya, setidaknya dengan bercerita resepku akan selalu abadi, walau suatu hari nanti aku kan menyusul Rain ke sana.
Mungkin, hujan akan marah jika aku selalu bersedih, tapi demi mereka aku akan berbagi sedikit pengalamanku.
"Aku akan bercerita tentang Kopi dan 'dia' ...," kataku senang.
Di akhir kisah, aku kembali menikmati secangkir kopi ditemani rintik hujan. Untuk saat ini biarkan aku sedikit saja menikmati aroma hujan dan menghirupnya dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sad Story
Short StoryKumpulan-kumpulan cerita sedih yang kutulis sendiri. Sebagian ada yang Kolab. Karena menulis aku bisa mengeluarkan semua yang ada di benakku. Karena menulis aku bisa menemukan jati diri. Karena menulis aku bisa bertemu dengan "Ia" "Menulislah dengan...