Hujan, Kenangan, Air Mata.

70 4 0
                                    


Hujan?

Kau tahu? Kenapa aku masih di sini, menunggu saat-saat bulirmu jatuh dan mulai nikmati semilir angin lembut, kenapa? Apa kau tahu?

Ah, tidak semuanya itu bergantung padamu, hujan. Kau hanya sebagian kecil dari kenangan yang telah kubuang. Andai saja kau mengerti semuanya, andai saja kau mengerti tentangku. Pasti kau tidak akan jatuh.

Itulah kenapa aku disebut si biru, si cerah. Karena aku dengan sengaja menjatuhkanmu, hingga kau bertemu dengan bumi. Tapi, tolong beritahu pada bumi kalau aku ... sangat kecewa padanya.

***

"Hey, puisi macam apa ini?" Aku membanting keras kertas yang ada di gengamanku. Semula, kertas ini terbalut dengan amplop putih--tidak tahu siapa pengirim sebenarnya. Di depannya ada sampul bergambar bunga.

"Itu apa, Kris?" tanya Lisa.

"Cuma puisi dari seseorang yang tidak aku ketahui."

Jika aku melihat lebih jelas tulisan ini. Sangat rapi, gaya tulisan perempuan yang memang suka menulis, bagus. Tapi, artinya cukup membuatku memutar otak.

Lisa nampak tenang, tidak ada gelagat yang mengatakan kalau surat ini begitu mencurigakan. "Kita bisa tanya Djoko nanti."

"Mungkin ...."

Aku lebih memilih menyimpannya, kau tahu. Aku tidak terlalu suka dengan seseorang yang menyembunyikan perasaannya sendiri, terlebih apa sebabnya ia mengirimkan puisi--bahkan aku menyebutnya pesan berantai.

Mataku lebih memilih untuk memperhatikan Lisa. "Mau makan bareng?"

Ia menanggapi dengan riang. "Boleh." Lalu menarik tanganku. Bergandengan.

Bolehkah aku membuang kenangan itu juga, sayang?

***

Kau tahu hujan, dirimulah yang membuatku seperti ini. Kau jatuh bersama bumi, kemudian menggenggam tangannya. Aku cuma bisa memperhatikanmu dari sini

Sehingga, suatu hari nanti kau menangis, dan menciptakan genangan air, aku masih bisa menerimamu. Menerima kesalahanmu. Jika kau mau kembali, kembalilah.

Dari langit ... yang sekarang memperhatikanmu menggenggam bumi beserta perasaannya.

***

"Kamu lagi ngapain, Putri?"

"Memandang langit." Wajah gadis itu terlihat biasa-biasa saja. Senja menyorot wajahnya. Senyum tipis itu mulai bisa di lihat.

Siska duduk di samping Putri. "Aku udah kenal kamu lama, jadi jangan heran kalau aku tahu kapan kamu sedih."

Putri tersenyum singkat. "Kamu memang sahabatku."

Siska mulai mencari sebuah masalah di mata putri. "Ceritakan semuanya."

Ia menatap kumpulan kertas itu, semua kertas putih yang semulannya ia tulis jatuh bersama genangan air. Hujan kini sudah berlalu, cukup lama sampai-sampai gadis 17 tahun itu duduk di bawah pohon tanpa ada niatan untuk melanjutkan perjalanan pulang.

"Aku patah hati ...."

Kau tahu, bagian dari hujan adalah kenangan. Itulah kenapa dia benci hujan. Sangat membencinya, namun hujan akan tetap ada ruang di sudut hatinya.

Pin

Berat? Entahlah, aku cuma menulis kesenanganku, hahaha ....

My Sad StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang