Aku ingin mengatakan beberapa kata padamu. Bahwa akulah yang paling beruntung bisa menjadi pendamping hidupmu.
Tatapan itu masih sama, tak ada yang berbeda. Hanya saja, perasaanku mengatakan kamu lebih peduli dari sebelumnya. Aku tahu karena, 7 tahun bersamamu membuatku paham sesuatu. Maafkan, ini memang salah. Tak seharusnya mulutku mengatakan hal omong kosong. Tapi, kamu pasti tak percaya kalau aku adalah pria yang mempunyai kelebihan.
Di saat orang bangga dengan bakatnya, aku malah bangga dengan titipan yang Tuhan berikan.
Benar.
Aku bisa tahu kapan waktuku sendiri. Maksudku, aku bukan Sang pencipta yang tahu kapan takdir merenggut, tapi bisa kulihat itu dari kertas putih yang ada di tanganmu.
Maaf sebelumnya, lelaki sepertiku menyembunyikan itu.
Ya. Kertas dari pak dokter. Diagnosis itu mengatakan kalau waktuku tidak akan lama lagi. Ah, mendengarnya membuatku tertawa, tapi tidak bisa dipungkiri kalau perasaanku sedang menangis.
Aku tidak sedih, kupikir semua yang berawal pasti ada akhir. Itu pesan bapak yang kusimpan jauh dalam lubuk hati. Jadi, kamu jangan khawatir. Jika suatu hari nyawaku pergi, jiwaku akan tenang bersama bintang. Di sana.
Matamu masih menatap hampa tulisan itu, tak ada niatan bergeming. Tubuhmu kaku, atmosfer menjadi dingin seketika, menyentuh kulitmu dan berdiam di sana. Jika aku punya waktu sedikit saja, biarkan tubuh ini memelukmu dalam diam. Sedikit saja.
"I-ini a-apa, Mas?" tanyamu getir.
"itu .... " mulutku tidak bisa berkata lagi, tak ada yang bisa diucapkan. Kepalaku menunduk dalam, ada saat di mana aku tak mengerti semuanya, bahkan diriku sendiri.Langkahmu mengalun pelan, pergi bersama tanda tanya besar. Ekspresimu masih sama seperti pertama kita mengucap janji sehidup-semati di hadapan penghulu. Senyumku tak bisa luntur waktu itu, akhirnya aku mendapatkan malaikat tanpa sayap, walau ini cuma sebatas perjodohan yang kedua orang tua lakukan.
Jujur, aku senang bukan main. Itulah pertama kalinya tanganku mengelus telapak tangan halusmu. Kita bersama, dan akan melukis indah pada kanvas putih kehidupan.
Tapi, takdir berkata lain. Sepertinya kamu tidak mencintaiku, jauh di dalam lubuk hati, kamu menyimpan rasa bersalah pada dirimu sendiri. Tak ada yang bisa kulakukan selain menerima takdir.
Benang merah yang terikat menjadi pisau belati yang siap menikammu kapan saja, semaunya.
Aku ingat beberapa hal yang pernah kulaluli sendiri.
Ada hal yang tak bisa aku buktikan melalui kata-kata karena otakku yang cuma rata-rata. Tak ada yang lebih buruk dariku yang hanya bisa mengandalkan otot dari pada otak.
Bos sering mengomel tak jelas. Ya, baginya, tubuhku terlalu kecil untuk melakukan kerja buruh. Hampir setiap hari kulit tergores besi runcing, atau percikan cahaya hasil las besi yang menganggu mataku.
Setiap malam kusempatkan untuk membersihkannya, walau kamu tidak tahu, aku mencoba usaha sedikit demi sedikit.
Tak ada yang lebih buruk dari pria sepertiku.Aku bahkan pernah berbohong. Seperti yang kamu liat, uang yang didapat tidak cukup untuk kebutuhan kita. Jujur, aku tidak kerja waktu itu, karena sakit meriang. Untungnya temanku dengan suka rela memberikan sedikit uang untuk membeli obat, maaf aku tidak memberitahu sebelumnya.
Aku juga mengatakan pada teman kerja kalau kau itu lembut, selalu senyum, hanya saja aku tidak mau kamu jadi buah bibir para rekan kerjaku. Mereka pasti berkomentar miring kalau aku mengatakan bahwa kamu itu dingin.
Mendengar kabar penyakitku, semua keluarga kita datang, memberi bela sungkawa, dan membantu pengobatan. Tapi, aku menolaknya dengan tegas, cukuplah pria sepertiku merepotkan mereka, hanya karna penyakit aku tidak akan putus asa. Itu lebih baik. Pria sepertiku tahu waktu tak akan lama lagi. Sedikit lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/134596932-288-k20794.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sad Story
Historia CortaKumpulan-kumpulan cerita sedih yang kutulis sendiri. Sebagian ada yang Kolab. Karena menulis aku bisa mengeluarkan semua yang ada di benakku. Karena menulis aku bisa menemukan jati diri. Karena menulis aku bisa bertemu dengan "Ia" "Menulislah dengan...