"Ak-aku di-di jodohkan, hiks..."
Tangisannya pecah tak kala memeluk badan Fifit. Aku memperhatikannya dari jauh. Tapi, semuanya seakan terhenti karena perkataan seseorang dari depan sana.
"Priy masuk!" Katanya tegas. Seorang pria tua berkumis yang aku pikir adalah orangtua gadis itu. Aku mengerti betul, saat melepas pelukan itu dan membalikkan badannya. Priy sedikit melirik kedua mataku, kemudian masuk ke dalam rumah besar bercat krem. Wajah cantiknya nampak muram saat berlalu meninggalkan kami di halaman rumah. Angin lembut menerbangkan rambut lembutnya, membelai kulit putih porelen sehingga meninggalkan bekas airmata disetiap inci pipi.
Awalnya aku sempat kaget mengetahui orang yang kucintai akan dijodohkan. Lantas Aku, Fifit, Eka, Asta, dan Sigit datang berkunjung.
Krisman, itulah namaku. Tapi,mereka sering memanggilku Kris, 20 tahun.
Coba tebak, siapa yang menyambut kami? Tentu saja Pak Rt, Ayahnya Priy.
"Ada apa ini?" tanya bapak tersebut.
Fifit maju dengan langkah pelan. Gadis muda itu memang peduli dengan sahabatnya.
"Kami temannya Priy, Om. Apa benar Priy akan dijodohkan?"
Tangan bapak tersebut melipat, serta urat kekesalan muncul di dahinya. "Priy udah saya jodohkan. Lalu, kalian kenapa ke sini?"
Aku maju mendampingi Fifit, karena ini menyangkut masalah perasaanku juga. "Maaf sebelumnya, apa Bapak tidak tahu kalau selama ini Priy tersiksa gara-gara perjodohan?" Itu kukatakan santai.
"Apa maksudmu anak muda? Priy bahagia, siapa bilang dia tersiksa?"
"Saya harap bapak mengerti, karena Priy bukan perempuan biasa," ujarku. "Dia bisa menutupi semua derita dan sakit hati karena perjodohan ini."
Menurutku, perkataan barusan membuatnya naik pitam. Melihat gaya bicaraku yang kurang sopan, tapi memang benar 'sih. Siapapun tidak akan mau kalau dijodohkan kalau bukan pilihannya sendiri. Aku bisa melihat kesedihan itu saat mataku bertemu dengan kedua manik hitamnya tadi.
"Emang kamu siapa?" tanya bapak itu, "berani-berani ikut campuri urusan keluarga orang lain." Nada Intonasinya naik beberapa tingkat. Tangan besarnya menunjuk dadaku beberapa kali,--membuatku emosi.
Sabar Kris, semua indah pada waktunya. Saatnya kau mulai berjuang. Begitulah caraku menyemangati diriku sendiri.
Aku mengambil napas, seraya berucap, "sebelumnya saya minta maaf, ini bukanlah zaman Siti Nurbayah,zaman bapak dulu." Memang tidak sopan, tapi aku tidak bisa menahan apa yang mengganjal di pikiranku.
"Apa kamu bilang?!"
Tanpa aba-aba ...
Druag!!!
Sebuah kepalan mendarat tepat di pipi kiriku. Rasanya sakit bercampur panas. Tanganku gemetar, dadaku bergemuruh. Saat itu juga aku ingin membalas perbuatannya itu, tapi mereka semua memperhatikan. Aku juga tidak akan tega berbuat seperti itu pada orang yang lebih tua.
Fifit yang sedari tadi bengong, matanya mulai berkaca-kaca. Semuanya termasuk Asta, Sigit, bahkan Eka mulai menarik simpatinya padaku, sehingga aku dengan susah payah menahan napas.
Sepertinya hari ini adalah hari tersial. Setelah mendapat kabar bahwa Priy akan dijodohkan. Aku juga mendapat bogem mentah yang bersarang tepat di wajahku. Sakit? Entahlah, luka di hatiku lebih dari sakit dari pukulan itu, tapi tidak menutup kemungkian aku jadi sok kuat.
"Sensei!" Teriak Asta dan Sigit bersamaan.
"Bre***k, kau masih bocah ingusan tahu apa, Hah...?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sad Story
Short StoryKumpulan-kumpulan cerita sedih yang kutulis sendiri. Sebagian ada yang Kolab. Karena menulis aku bisa mengeluarkan semua yang ada di benakku. Karena menulis aku bisa menemukan jati diri. Karena menulis aku bisa bertemu dengan "Ia" "Menulislah dengan...