Maaf

315 13 2
                                    

Dua buah cangkir cappucino siap menemani kita malam ini. Seperti biasa, kamu akan bercerita banyak hal tentang dia. Dia yang seringkali membuatku cemburu diam-diam. Ya perempuan itu ... ah, maaf mulutku terlalu gagu untuk menyebut namanya.

"Apa aku bodoh masih menunggu dia?" Lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar dari mulutmu.

Aku menarik napas pelan, memandangi wajah di depanku yang terlihat sendu. "Mungkin ... tapi setiap orang mempunyai pilihan masing-masing, Kris. Dan hatimu berhak memilih," jawabku, disertai senyum samar.

Sebuah lagu patah hati mengalun pelan, menambah rasa sesak yang sebenarnya sudah sejak tadi kutahan-tahan.

"Rasanya terlalu sakit...," katamu parau seperti orang meriang, tanganmu memegang dada sebelah kiri. Seolah-olah di sanalah muara dari sakit yang kamu rasa.

"Kenapa kau tak melepaskan saja, Kris. Barangkali hatimu butuh kebebasan." Dalam hati aku mentertawakan perkataanku. Bukankan aku juga merasakan hal yang sama.

Perasaan yang tak akan terlihat oleh matamu, tak terdengar oleh hatimu. Karena memang hanya dialah yang kamu tuju.

"Entahlah ... dia telah membawa separuh hatiku pergi." Iris matamu tampak begitu terluka, membuatku sadar bahwa memang hatimu sudah benar-benar terkunci.

Kamu menyesap kopimu yang mulai dingin, pelan. Lalu perlahan meletakan di tempat semula.

"Apa kau pernah merasakan hal yang sama? Menunggu seseorang yang tak pernah menunggu kita?" tanyamu yang malah membuatku terdiam kaku.

"Ya."

"Siapa?"

Atmosfer tempatku duduk terasa dingin, bukan karena udara malam. Melainkan karena sepotong tanya darimu. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela.

"Seseorang yang tak pernah menganggapku ada." Kamu menyipitkan mata, meminta penjelasan. Aku hanya tersenyum simpul.

Aku tahu semua tentang kisahmu, tentang patah hatimu. Yang tidak pernah kamu tahu adalah ada seseorang yang menunggumu di sini.

Tiga tahun persahabatan kita di mulai. Tiga tahun juga rasa ini mendiami sudut hati. Tiga tahun yang rasanya sudah cukup. Barangkali ini saatnya pamit, dan tak lagi menunggu perasaan itu hadir di hatimu. Di hatimu terlalu beku.

Aku menegakan badan, "Tapi mulai malam ini aku akan membebaskan hatiku, Kris," ucapku di sertai tawa lepas. Sebuah ikrar kebebasan untuk hatiku.

Kamu memandangku dengan tatapan penuh arti. Seolah-olah kita baru pertama kali bertemu. Aku tak peduli, kebebasan perasaanku lebih penting saat ini.

Alunan melodi mengiringi langkah kakiku menjauh dari pandanganmu. Darahku mendesir bersama detak jantung yang mengetuk-ngetuk pelan. Aku tahu, saat ini hatiku tak lagi utuh. Tapi aku juga tahu, aku terbebas dari rasa terbelenggu. Selamat tinggal kamu.

***

Bolehkah sekarang aku berteriak, ini memang salah dan aku tidak tahu harus salahkan siapa. Apa harus menyalahkan takdir, ataukah hati yang membeku, terlena dengan 'dia' yang tak pasti?

Bagaimana rasanya? Aku bertanya pada benak dan hatiku sendiri. Pria sepertiku mungkin bodoh,  lihatlah sekarang! Lihatlah lebih jelas ke depan sana!

Langkah kakimu terdengar seperti membunuh, menghancurkan nadiku. Kenapa?

Tiga tahun bersama, tiga tahun juga aku tersadar dari belengguku sendiri. Terjebak dalam mimpi indah yang kosong, bangun bersama dengan ketakutan terbesarku. Kamu ... saat langkah kakimu menjauh, kemudian hilang di persimpangan itu. Apa yang baru saja aku lakukan?

My Sad StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang