Kapan

34 2 0
                                    

Lirik yang kamu ucapkan serasa masuk dalam jiwaku, berdiam di sana, kemudian membuat air mataku jatuh. Sekali lagi tolong, biarkan aku mendengar sebait lagi. Biarkan aku tenggelam dalam dunia yang kau buat, sehingga aku lupa akan masalahku.

"Lagi, aku mau lagi!"

"Suaraku mau abis, Yu."

Itu memberi jawaban pasti. Kamu menaruh gitar itu, lalu menatapku dalam sambil tersenyum, matamu lebih indah kalau menyipit, dan setitik keringat jatuh dari dahimu.

"Besok gimana? Aku pasti ke sini lagi, kok." Kamu mengatakan itu, seolah bisa membuatku lebih tenang. Jujur, semenjak kamu ada di sini, hidupku seperti bercahaya, kepalaku yang semulanya berisi kesedihan, kehampaan, saat semua orang terdekatku pergi karena takdir, kamu selalu menemaniku, menggenggam tangan ini.

"Baik, tapi janji, yah?"

"Pasti."

Hayati, bukankah indah, saat kita menghabiskan hari berdua, memulai lembar yang semulanya kututup rapat, tapi entah kenapa denganmu, aku merasa terlahir kembali, satu kali hentakan, kamu membukanya. Mengisi dengan kisah indah, walau sebeneranya sedikit lagi, dan sedikit lagi aku tidak bisa melihatnya.

"Baik, aku pulang dulu."

"Hati-hati, yah!"

Di ruangan serba putih, kamu hilang di balik pintu itu, membuatku kesepian sekali lagi menggerogoti tubuhku.

Aku sendiri. Tidak! Bukan sendiri, seseorang berbaju putih datang dari samping, wajahnya bercahaya, bahkan aku tidak bisa melihat raut wajahnya.

"Sudah siap?"

"Aku bingung, bolehkah aku mengucap sebuah kata untuk, Hayati?"

Ia seperti menimang sesuatu. "Sebenarnya itu tidak boleh, tapi ... "

"Lewat surat?" Aku bertanya.

"Ah, baiklah."

Senyumku naik, setidaknya dengan ini aku bisa meninggalkan urusan, dan semuanya selesai.

Benar, waktuku tidak lama, mungkin besok, aku tidak akan mendengar cicitan burung, saat udara mulai masuk lewat ventilasi, ah itu membuatku rindu akan mentari.

***

"Apa yang terjadi dengan Wahyu , Dok?"

Setelah aku masuk, Wahyu tidak ada di kamarnya. Kata suster, ia dipindahkan ke kamar UGD, tentu saja aku khawatir, secara hanya dia yang masih selamat dari insiden tabrakan waktu lalu.

"Tadi pagi Nak Wahyu sempat koma." Dokter muda itu memijit keningnya. "Sekarang dia harus dapat perawatan lebih, setidaknya sampai Wahyu sadar dari komanya."

"Ini tidak mungkin." Kataku hampir tak percaya.

Kurasa tubuhku mulai merosot, tertarik gravitasi, bahkan lututku mulai bergetar hebat.

Apa yang harus aku lakukan?

My Sad StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang