Cinta?

45 1 0
                                    

Aku benci keabadian. Saat satu per satu hal yang paling berharga mulai pudar termakan waktu. Aku cuma bisa memperhatikan langit biru itu, berharap semuanya bisa kembali seperti awal lagi, dan tubuhku bisa menjadi manusia biasa. Tua dan ... mati.

(1)

"Kau tersesat?" tanyaku saat itu. Wajah Hida sangat manis, apalagi rambut hitamnya membuatku ingin sekali mengelusnya.

"Kakak siapa?" Bukannya menjawab pertanyaanku. Ia malah balik bertanya. "Kok telinga kakak panjang banget?"

Aku tak sempat menjelaskannya, karena waktuku istirahat sudah hampir habis. "Nanti aku jelaskan, mau ikut kakak, kan?"

Hida nampak bingung. "Kemana?"

Tanganku menarik pergelangannya pelan, sambil mengedipkan mata. "Ke tempat di mana kau akan bahagia."

(2)

"Udah aku siapkan keperluan, kakak," kata Hida.

"Eh? Cepet banget?"

"Cuma tongkat sama sapu doang."

Tak terasa sudah 15 tahun hidup bersama Hida. Dia ceroboh, sering menggampangkan sesuatu. Bahkan setiap hari ada saja ledakan di dapur, atau lebih tepatnya Hida membuat bom.

"Kamu gak bikin bom lagi, 'kan?"

Hida tersenyum ke arahku. "Tentu saja ... tidak," katanya, "lagipula aku mau membuat pil suci."

"Kalo kamu kenapa-napa, gimana?" tanyaku

Ia menggaruk tengkuknya, tanda malu. "Ya enggaklah. Tenang saja, Kak."

"Ah, baiklah. Jangan campurkan akar naga, sama tumbuhan cakar merah terlalu banyak."

"Iya kak. Aku paham, dan ... kapan kakak berangkat?"

Mengingatnya membuatku geli sendiri. Aku ingin hari itu adalah hari di mana aku bisa melihat senyum Hida yang mengantarkanku pergi untuk menjalani tugas.

"Oh, iya. Hampir lupa." Aku menepuk dahiku sendiri. "Baiklah aku berangkat."

"Kakak!" teriak Hida sebelum aku mulai menjauh dari pintu masuk rumah kami. "Aku mencintaimu," katanya membuatku berhenti sejenak.

Bibirku tak bisa berhenti naik. "Aku tahu ...,"

Mulai saat itu, aku hidup untuknya.

My Sad StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang