Part 1

87.9K 3.4K 62
                                    

Cahaya mentari menembus jendela dan jatuh di tepi meja makan, tempat Andini merebahkan kedua siku tangannya yang terlipat. Sebuah cangkir keramik di hadapannya masih mengepulkan uap. Bersamaan dengan itu, menguar pula aroma daun teh yang berpadu dengan wangi bunga melati.

Gadis berusia 20 tahun itu lantas meraih pegangan cangkir, menghirup wanginya selama beberapa detik, lalu menyeruput isinya pelan-pelan.

"Bagaimana, Nduk? Apa keputusanmu?" tanya sang ayah yang duduk di hadapannya, tepat saat ia baru saja meletakkan kembali cangkirnya di meja.

Teh yang baru saja ia teguk mendadak berhenti di kerongkongan dan membuatnya tercekat. Meski semalam ia sudah mantap mengambil keputusan, namun pertanyaan dari ayahnya beberapa detik lalu, kembali membuatnya gamang.

"Keputusan sepenuhnya ada di tanganmu, Nduk. Ayah tidak memaksa," ujar sang ayah saat melihat keraguan di wajah Andini. "Tapi ayah akan sangat berterimakasih kalau kamu bersedia," lanjutnya lagi.

Andini menarik napas panjang, lalu menghembuskannya.

Ayah selalu saja begitu. Memberinya pilihan dan kebebasan, padahal sebenarnya tidak. Ayah tahu bahwa Andini anak yang patuh, dan itulah yang rasa-rasanya selalu dijadikan senjata olehnya. Ayahnya tahu, apapun permintaannya, pasti akan Andini penuhi.

Namun permintaan ayah kali ini bukan sesuatu yang remeh temeh seperti menentukan di mana Andini harus bersekolah, jurusan apa yang harus ia ambil di perguruan tinggi, atau karir apa yang sebaiknya dipilih Andini di masa depan. Lebih dari itu. Permintaan ayah kali ini akan membawa dampak besar tidak hanya bagi masa depan Andini, tetapi juga perasaannya.

Andini ingin memberontak, kalau perlu sekalian saja kabur dari rumah saat dua minggu lalu sang ayah memintanya segera menikah dengan lelaki pilihannya. Lelaki yang bahkan tidak Andini kenal.

Gadis manis itu bahkan sudah sempat mengemas pakaiannya, bersiap meninggalkan rumah diam-diam. Namun bayangan lelaki paruh baya yang telah membesarkannya sejak baru lahir itu menahan langkahnya. Teringat kembali bagaimana ayah merawatnya dengan sabar dan penuh cinta, meskipun tanpa bantuan sang istri.

Ibu Andini meninggal saat melahirkan dirinya, dan sejak saat itu, ayahlah yang mengemban tugas membesarkan Andini seorang diri.

Sejak kecil, Andini tidak pernah sekalipun melihat ayahnya mengeluh. Bahkan ketika sang Ayah tampak sangat kerepotan membagi waktu mengasuh Andini sekaligus menjalankan profesinya sebagai seorang dosen di sebuah universitas negeri ternama di Semarang. Ayahnya selalu tersenyum, meski ia harus berangkat mengajar dengan membawa serta Andini kecil, dan memanggul ransel yang penuh oleh segala perlengkapan putri kecilnya itu.

"Nduk?" Ucapan sang ayah membuat Andini tersadar dari lamunan.

Andini mendongak, menatap lekat wajah ayahnya yang semakin menua. Wajah yang diwariskan kepada Andini, kecuali bentuk mata dan bibirnya. Kata sang ayah, mata dan bibir Andini sangat mirip dengan milik mendiang ibu.

"Iya, Yah. Andini bersedia." Akhirnya, hanya jawaban bernada pasrah itu yang meluncur dari bibir tipisnya.

Dengan serta-merta, Andini merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Sebagai seorang perempuan, tentu Andini memimpikan kelak ia akan menikah karena cinta, membangun keluarga bersama lelaki yang ia cintai dan mencintainya. Bukannya menikah di usia yang masih sangat muda, karena dijodohkan dengan lelaki yang sama sekali tidak ia kenal.

Setitik air yang sedari tadi ditahannya setengah mati, kini berhasil bertengger di ujung matanya.

"Terimakasih, Nduk. Maafkan jika ayah membuatmu kecewa. Ayah melakukan ini demi kebaikanmu juga." Ayah menggenggam tangan Andini, berusaha menghibur anak semata wayangnya itu. Namun genggaman itu justru membuat Andini terisak.

Andini tahu, setelah ini, hidupnya akan berubah. Benar-benar berubah.

***

~Bersambung~

ANDINI (SUDAH TERBIT NOVEL CETAKNYA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang