Part 7

48.2K 2.8K 112
                                    

::Andini::

Debar jantung Andini masih tidak karuan rasanya. Padahal sudah dua puluh menit berlalu sejak Gilang melepaskan pelukannya. Selama perjalanan pulang ke hotel, Andini juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu terlalu sibuk menenangkan gemuruh di dadanya.

"Kamu nggak apa-apa? Nggak ada yang sakit atau luka kan?" Gilang kembali bertanya untuk yang kesekian kalinya. Pertanyaan yang lagi-lagi hanya dibalas gelengan kepala oleh Andini.

"Itu air mineralnya diminum dulu biar agak tenang. Aku rasa kamu masih shock karena kejadian tadi." Gilang mengubah posisi gigi mobilnya, lalu melirik sepintas ke arah Andini. "Emang kurang asem kok pengendara motor itu. Main ngebut aja nggak lihat-lihat jalan," lanjutnya.

Andini tidak menanggapi ucapan Gilang. Dirinya lebih memilih menatap jendela, dengan dua tangan yang disilangkan di dada.

"Ndin ...."Gilang menyentuh bahu Andini. Namun reaksi gadis itu justru di luar dugaan. Dia menarik bahunya menjauh dari tangan Gilang dengan ekspresi terkejut.

"Sudah sampai. Ayo, masuk," ajak Gilang.

Andini memperhatikan sekitarnya. Rupanya mereka sudah berada di parkiran hotel.

"Yakin kamu nggak kenapa-kenapa? Dari tadi sikapmu aneh," tanya Gilang.

Hatiku yang kenapa-kenapa, Mas, sahut wanita itu dalam hati.

"Aku nggak apa-apa kok. Yuk turun." Akhirnya Andini membuka mulutnya. Sementara itu, tangannya sibuk mengutak-atik sabuk pengaman yang entah kenapa mendadak susah dibuka.

"Kenapa? Macet ya? Kadang emang suka gitu. Sini aku bantu." Gilang mencondongkan badannya ke arah Andini, kemudian sedikit membungkuk untuk membantu melepaskan kunci sabuk pengaman yang terpasang di tubuh gadis itu.

"Eh, nggak usah. Aku bisa kok." Andini mengambil alih panel sabuk pengamannya dan berusaha lagi untuk membukanya. Dirinya khawatir, dengan jarak sedekat ini, Gilang akan dapat mendengar detak jantungnya.

Lelaki tersebut segera menjauh dan kembali ke posisinya semula setelah menerima penolakan dari Andini.

Ceklek.

Andini bernapas lega setelah berhasil membuka sabuk pengamannya.

🍁🍁🍁

::Gilang::

Gilang berdiri di sudut kamar hotel, sibuk mengecek pesan di ponselnya, sementara Andini masih berada di kamar mandi. Ratusan chat dan sms yang diterima oleh lelaki itu rata-rata berisi ucapan selamat atas pernikahannya hari ini. Dan di antara semua pesan yang masuk, ada satu nama yang membuat perasaan Gilang menjadi tidak karuan.

My Rana.

Demikian nama yang terbaca di layar ponselnya. Ingatan Gilang mengembara ke beberapa tahun lalu, saat dirinya dan Rana masih menjadi sepasang kekasih. Rana sendiri yang memberi nama tersebut ponsel Gilang. Hingga beberapa tahun kemudian, ketika mereka memilih mengakhiri hubungan itu, Gilang tidak juga mengganti nama Rana dalam daftar phone book-nya.

[Selamat ya, Lang. Maaf, aku nggak bisa hadir. Kamu pasti tahu alasan aku nggak hadir. Aku nggak pengen merusak acara besarmu. Sekali lagi, selamat menempuh hidup baru.]

Gilang menghela napas. Dirinya bisa menebak alasan Rana tidak datang. Gadis itu pasti tidak akan bisa menahan tangisnya di depan Gilang. Meski mandiri dan tangguh, selayaknya seorang perempuan, Rana juga memiliki kelemahan. Ia mudah sekali menitikkan air mata.

Ada nyeri di benak Gilang. Keputusan berpisah memang murni keinginan Rana, akan tapi, lelaki itu tahu pasti bahwa sebenarnya Rana masih mencintainya. Ya, sama seperti dirinya yang masih belum sepenuhnya berhasil menggeser kedudukan Rana dari hatinya.

ANDINI (SUDAH TERBIT NOVEL CETAKNYA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang