Part 11

51.1K 2.6K 91
                                    

Gilang mendaratkan bibir di atas ubun-ubun gadis yang berdiri di hadapannya. Lelaki itu sengaja berlama-lama di sana, menghirup aroma wangi yang menguar dari setiap helai rambut istrinya. Beberapa saat kemudian, ia mengalihkan kecupan ke kening, lalu turun ke kedua kelopak mata, dan berakhir di ujung hidung Andini.

Untuk sesaat, Gilang menarik wajahnya menjauh. Dipandanginya wajah polos Andini. Gadis itu memejamkan mata, menunggu Gilang mengambil langkah selanjutnya. Tampaknya Andini merasa canggung, terlihat dari kedua alisnya yang berkerut dan ekspresi wajahnya yang takut-takut. Tapi entah kenapa, pemandangan ini justru membuat Gilang melengkungkan senyumnya.

Pelan-pelan, Gilang mengangkat dagu Andini dengan tangan kanan. Sementara itu, tangan kirinya menggenggam bahu Andini, berusaha memberi rasa aman dan tenang bagi gadis itu. Setelah dirasa bahwa istrinya sudah lebih rileks, lelaki itu mendaratkan ciumannya pada bibir tipis Andini. Hanya sebuah kecupan lembut, penuh kasih sayang, tidak tergesa dan tidak memaksa.

"Ini ..., ciuman pertamaku," ujar Andini lirih, sesaat setelah bibir mereka tak lagi saling bersentuhan.

Gilang menundukkan kepala, menempelkan dahinya di kening Andini, kedua telapak tangan ditempelkan ke pipi kanan dan kiri gadis itu.

"Terimakasih, karena sudah menjaga ciuman pertamamu untukku."

Sekali lagi, lelaki itu mendaratkan bibir pada bibir pada istrinya, kali ini lebih lama.

Pipi Andini bersemu merah. Jantungnya berdebar berkali-kali lipat lebih cepat. Perasaan aneh yang akhir-akhir ini menyusup ke hatinya, kini semakin nyata terasa.

Apakah ini ... cinta?

🍁🍁🍁

Wajah Andini tampak semringah beberapa hari terakhir. Gadis itu tidak mampu menahan senyumnya. Kejadian tempo hari masih saja terbayang di kepalanya.

Jangan salah sangka, yang terjadi malam itu di antara mereka baru sebatas ciuman, tidak lebih. Bukan karena mereka tidak saling menginginkan, tapi karena mereka berdua sepakat untuk menikmati prosesnya tanpa terburu-buru. Ya, selayaknya pasangan yang baru saja menjalin hubungan. Tetapi, meski hanya sekadar ciuman, itu saja sudah mampu mengaduk-aduk perasaan Andini.

"Ndin!" seru Linda, "melamun terus nih dari tadi."

Andini mendongak, menatap teman-temannya. "Eh, maaf-maaf. Tadi kamu ngomong apa, Lin?"

"Wah, nggak fokus beneran nih bocah." Kali ini giliran Ayu yang berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tau, nih. Senyam senyum terus dari tadi. Kayak orang kesambet tau nggak?" goda Meta.

Andini tertawa kecil. "Iya, maaf ... Tadi sampe mana ngobrolnya, Sayang-sayangku?"

"Magang, Sayaaang ...." Linda melirik Andini sambil mengaduk es jeruknya. "Kamu jadi ngajuin permohonan magang ke kantor suamimu?"

Andini mengangguk. "Semoga hari ini sudah dapat balasan, disetujui atau nggak."

"Yaelah, pasti disetujui lah ... Paling juga suamimu bantu ngelobi biar kamu diterima magang di sana," ujar Meta.

"Mas Gilang nggak tahu kok, kalau aku mengajukan permohonan magang ke perusahaan tempat dia kerja." Andini menyeruput es jeruknya. "Dia juga nggak menyinggung soal permohonan magang. Jadi asumsiku sih, dia belum tahu."

"Ciyeee, surprise gitu ceritanya ya, Bu?" Ayu terkekeh-kekeh. "Aaah, romantis banget deh. Jadi pengen dijodohin juga," lanjutnya sembari menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Sabar, Neng. Tunggu jodohmu datang menjemput. Nggak usah pacaran-pacaran lagi. Pacarannya ntar aja kalau udah nikah. Pacaran halal, lebih seru," ujar Meta, mengikuti gaya bicara Andini.

ANDINI (SUDAH TERBIT NOVEL CETAKNYA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang