Mobil putih milik Gilang memasuki pelataran sebuah rumah bergaya arsitektur lama. Desainnya sederhana, namun jika dilihat dari modelnya, bangunan tersebut pasti pernah menjadi rumah yang cukup mewah di zamannya. Halamannya luas dan asri. Beberapa tanaman buah berjejer rapi di pekarangan, sedangkan berbagai tanaman hias dalam pot terlihat menghiasi terasnya.
"Assalamualaikum." Gilang mengucapkan salam dari depan pintu. Tanpa menunggu jawaban, lelaki itu melepas sepatu serta kaos kakinya, kemudian memasuki rumah tersebut.
"Waalaikumsalaam," balas sebuah suara yang terdengar berasal dari halaman belakang. "Nak Gilang ya? Masuk, Nak. Ayah di belakang."
Gilang menghampiri suara tersebut. Dilihatnya sang ayah mertua sedang berdiri di tepi kolam hias dan memberi makan ikan-ikan koi peliharaannya.
"Eh, Nak Gilang. Dari kantor?" tanya ayah. "Sendirian?"
"Iya, Yah, ini lagi istirahat. Gilang sendirian aja, soalnya putri ayah lagi sok sibuk. Katanya masih banyak kerjaan, maklum lah anak magang," canda Gilang, lalu menyalami tangan ayah mertuanya itu. "Oya, kok sepi? Mbok Siti nggak masuk kerja?"
"Oooh, gitu." Ayah tertawa mendengar jawaban Gilang. "Mbok Siti tadi masuk, tapi jam sebelas sudah pulang. Cucu dan anak menantunya hari ini datang dari Karawang," jawab ayah sembari menutup wadah makanan ikan, kemudian meletakkannya di pojok kolam.
"Ayah sudah makan siang? Gilang bawa gulai kepala kakap. Tadi beli pas perjalanan ke sini." Lelaki itu menunjukkan bungkusan di tangannya.
"Waduh, kalau gulai kepala kakap sih, mana bisa ayah nolak. Kebetulan ayah juga belum makan." Ayah menjawab dengan semringah. "Kok tahu sih, ayah suka gulai kakap?"
"Waaah, berarti insting Gilang kuat ya, Yah?" Gilang berkelakar sembari bergerilya di dapur, mencari mangkok untuk tempat gulai kakap yang dia bawa.
🍁🍁🍁
"Sudah, Lang. Tinggal saja. Biar nanti ayah yang nyuci piringnya," ujar ayah saat melihat menantunya mencuci piring mereka, seusai makan siang bersama.
"Nggak apa-apa, Yah. Orang cuma dua piring kok." Gilang membilas piring terakhir, lalu menyandarkannya di rak.
Keduanya lantas duduk bersantai di ruang keluarga, menikmati suara gemericik air dari kolam ikan di halaman belakang, sembari membuka-buka album foto lama.
"Ini Andini kenapa nangis, Yah?" Gilang terkekeh saat melihat foto Andini kecil yang sedang menangis sembari memegang piala.
"Mana?" ayah melihat foto yang dimaksud Gilang, kemudin ikut tertawa. "Itu Andini nangis gara-gara dapat juara satu waktu lomba pidato."
"Nangis terharu gitu, Yah?"
"Bukan, nangis kecewa."
"Lah, kok bisa? Kan juara satu?" Gilang mengerutkan kening. Istrinya sepertinya memang benar-benar ajaib.
"Soalnya yang juara satu, hadiahnya piala dan uang tunai. Padahal dia maunya hadiah yang didapat pemenang juara dua, yaitu sepeda yang ada keranjang depannya."
Gilang tertawa, kemudian lanjut membuka halaman demi halaman album foto tersebut. Ada Andini kecil yang sedang digendong ayahnya, Andini kecil yang sedang tertawa lebar, Andini kecil yang sedang berlibur, Andini kecil yang sedang tidur, dan ada juga foto seorang anak laki-laki yang sedang memangku anak perempuan yang berusia sekitar satu tahun.
Gilang melihat foto terakhir dengan ekspresi keheranan. Rasanya, anak laki-laki yang ada di foto tersebut sudah tidak asing lagi baginya.
"Yah, ini foto Gilang, kan?" Lelaki itu menunjukkan foto tersebut pada sang ayah mertua.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDINI (SUDAH TERBIT NOVEL CETAKNYA)
Romance::Telah terbit dalam versi novel cetak:: Beberapa part dihapus untuk kepentingan penerbitan. Rank #2 in #romance (13 Mei 2018) #3 in #romance (9 Mei 2018) 🍁🍁🍁 "Kamu yakin mau nikah sama saya?" Pertanyaan Gilang membuat Andini nyaris me...