::Gilang::
Gilang menatap tajam ke arah gadis yang sedang menghidangkan minuman di meja tamu. Lelaki itu menggertakkan gigi, sementara kedua tangan ia kepalkan di atas paha kanan dan kirinya yang terbalut celana kain warna hitam. Ada amarah yang sedang berusaha ia redam.
Kali ini Gilang merasa kedua orangtuanya sudah keterlaluan. Harga dirinya tercabik. Bisa-bisanya mereka menjebak anak kandungnya sendiri. Atau mungkin saja dirinya yang terlalu naif? Harusnya tadi ia sudah curiga ketika orangtuanya menyuruh berpakaian rapi dan memintanya mengantarkan mereka ke rumah seorang sahabat, padahal ada pak sopir yang standby di rumah.
Jujur saja, Gilang tidak pernah mengira bahwa orangtuanya akan nekat menempuh cara ini. Ia pikir, penolakannya terhadap rencana perjodohan tersebut beberapa waktu lalu, sudah membuat kedua orangtuanya menyerah. Tapi ternyata tidak. Penolakan itu justru membuat papa dan mamanya menggunakan cara licik.
Dan berkat kebodohannya, di sinilah dirinya berada sekarang. Terperangkap di ruang tamu berukuran tiga kali empat meter bersama orangtuanya, seorang lelaki paruh baya yang menurut perkiraannya adalah 'calon' mertuanya, serta seorang gadis berjilbab merah muda, bermata bulat, dan berbibir tipis yang sedari tadi lebih banyak menundukkan kepala.
Jika saja dirinya tidak memikirkan kondisi sang mama yang memiliki riwayat sakit jantung, mungkin saat itu juga ia akan menolak dengan tegas perjodohan bodoh tersebut, langsung di depan gadis itu dan ayahnya, lalu segera angkat kaki dari sana.
"Wah, Nak Andini sudah gadis ya sekarang. Tante masih ingat lho, dulu kamu sering dibawa ayahmu ke kampus. Kamu nggak pernah rewel. Patuh sekali menunggu ayah selesai mengajar," ujar mama semringah, membuat papa dan ayah dari gadis itu ikut tertawa mengenang masa lalu.
"Iya, benar, kamu patuh sekali. Sukanya mainan apa itu? Perforator ya? Yang buat bolongin kertas?" sambung papa.
"Iya, Mas Surya, Andini ini hobi main perforator. Dulu saya cukup bawa bekal perforator dan kertas bekas, setelah itu dia akan asik membolongi kertas sampai kelas berakhir." Om Damar, ayah gadis itu, menimpali.
Gilang melengos. Rasa-rasanya ia sudah muak dengan nostalgia dan basa-basi soal perforator yang dilakukan oleh tiga orangtua di ruangan itu. Apakah tidak ada topik lain yang lebih bermutu selain soal pembolong kertas?
"Oya, Nak Andini sekarang masih kuliah ya? Semester berapa?" tanya mama.
"Iya, Tante. Ini sudah semester enam," jawab gadis itu sopan.
"Ambil jurusan apa?"
"Ekonomi akuntansi, Tante."
"Wah, mengikuti jejak ayah ya? Oya, anak tante ini juga sarjana ekonomi, sudah tujuh tahun ini kerja di BUMN Pelabuhan. Alhamdulillah, tiga tahun terakhir ini dapat penempatan di Pelabuhan Semarang. Dulu sempat dapat penempatan di Pelabuhan Banjarmasin, dan Tanjung Benoa Bali."
Gilang merasakan udara mendadak berubah gerah saat mendengar mama mempromosikan dirinya sembari sesekali menepuk lengan kirinya.
"Nanti kalau kamu sudah mulai penelitian untuk skripsi, bisa diskusi dengan Mas Gilang. Siapa tahu dia bisa membantu," sambung papa yang membuat Gilang ingin mengamuk saat itu juga.
Sementara itu, Andini yang duduk di hadapan Gilang, hanya bisa mengangguk dan tersenyum dengan canggung.
🍁🍁🍁
"Gimana, pandapat Papa tentang Andini? Kalau mama sih suka. Anaknya manis, sopan, cerdas, dan sepertinya keibuan meski usianya baru dua puluh tahun," celoteh mama yang duduk di kursi belakang.
Gilang tahu bahwa saat itu mamanya sedang berusaha memancing komentarnya. Karena itu, ia sengaja mengunci rapat mulutnya. Pandangannya dibiarkan lurus ke depan, memperhatikan jalanan Semarang yang entah kenapa masih saja padat meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ah iya, Gilang lupa kalau ini malam Minggu.
"Papa juga suka kok. Dari obrolan kita tadi, papa bisa menangkap kalau gadis itu cerdas. Atitude-nya juga bagus," sambung papa yang duduk di samping Gilang. "Iya kan, Lang?"
Gilang tertawa sinis. "Cerdas? Mana ada gadis cerdas yang mau-maunya dijodohkan seperti itu. Memangnya ini zaman Siti Nur Baya?" cibir Gilang. "Kalau menurut Gilang sih, gadis itu tidak punya prinsip. Yang jelas, dia bukan tipe Gilang," lanjut Gilang, sementara itu tangannya masih sibuk mengemudi.
"Terus tipemu seperti apa? Masih seperti Rana? Gadis mandiri, punya karir cemerlang, tapi sama sekali nggak mau mengalah denganmu? Terus mau sampai kapan kamu menunggu? Umurmu sudah hampir kepala tiga, Lang."
Gilang bungkam. Yang ia inginkan saat ini hanya satu, segera sampai di rumah. Ia tidak ingin lagi berlama-lama menghadapi perdebatan dengan orangtuanya sepanjang perjalanan.
🍁🍁🍁
Setahun lalu
"Aku mencintaimu, Lang. Kamu tahu itu kan? Tapi sudah berkali-kali aku katakan, aku nggak bisa kalau harus mengundurkan diri dari perusahaan." Gadis yang duduk di samping Gilang tertunduk lesu dengan mata sembab. "Untuk sampai di sini, jalan yang aku tempuh itu nggak mudah, Lang. Kamu kan tahu bagaimana kondisi keluargaku. Ada dua adik yang harus aku tanggung biaya pendidikannya."
"Aku bersedia kok menyekolahkan kedua adikmu. Kita pasti akan menemukan jalan keluar, Ran. Kamu masih bisa berwiraswasta, atau mencari pekerjaan lainnya." Gilang memohon.
"Kita sudah membahas ini berkali-kali, Lang. Aku nggak bisa dan nggak mau mengundurkan diri. Aku juga nggak akan memaksa kamu keluar."
"Terus? Kita menyerah gitu aja? Setelah delapan tahun?"
Rana menangis. "Ini juga berat buat aku Lang."
"Ya terus kenapa dulu kamu pakai daftar sih? Kamu tahu aku udah kerja di sana. Kamu juga tahu ada larangan menikah antar pegawainya."
"Iya, aku minta maaf. Ini pun sudah berkali-kali kita bahas kan. Waktu itu aku hanya iseng. Pengumuman lowongan itu keluar saat aku baru saja wisuda. Aku nggak berekpektasi tinggi. Aku cuma mau menguji kemampuanku. Aku nggak berharap diterima."
"Ya kenyataannya kamu diterima kan? Setelah itu kamu juga nggak langsung melepasnya." Gilang menautkan jari jemari kedua tangannya, lalu menempelkannya di dahi. Sementara itu, gadis yang telah membersamainya sejak di bangku kuliah itu hanya terisak dalam diam.
🍁🍁🍁
Gilang melemparkan kunci mobilnya begitu saja ke atas meja kamar, lalu membanting tubuhnya sendiri di atas ranjang. Ia merasa begitu lelah. Bukan fisiknya yang lelah, tapi jiwanya. Sepanjang perjalanan pulang tadi, papa dan mama tidak berhenti membahas gadis itu.
Siapa tadi namanya? Andini?
Gilang menekuk lengan kirinya dan menjadikannya sebagai bantal.
Menikah dengan perempuan yang tidak dikenal? Huh, yang benar saja!
~Bersambung~
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDINI (SUDAH TERBIT NOVEL CETAKNYA)
Romansa::Telah terbit dalam versi novel cetak:: Beberapa part dihapus untuk kepentingan penerbitan. Rank #2 in #romance (13 Mei 2018) #3 in #romance (9 Mei 2018) 🍁🍁🍁 "Kamu yakin mau nikah sama saya?" Pertanyaan Gilang membuat Andini nyaris me...